Senin, 02 Desember 2013

sejarah filsafat cina









SEJARAH ALIRAN FILSAFAT DI CHINA




MAKALAH




Oleh 
Sifah Arifah
NIM 120210302060
Lailatus Sakinah R.
NIM 120210302042
Anny Miftaqul R.
NIM 120210302081
Vivin Wulandari
NIM 120210302073





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL    i
DAFTAR ISI    ii
BAB 1. PENDAHULUAN    1
1.1 Latar Belakang    1
1.2 Rumusan Masalah    2
1.3 Tujuan    2
1.4 Manfaat     3
BAB 2. PEMBAHASAN    4
2.1 Kong Fuzi (551-472 SM)    8
     2.1.1 Riwayat Singkat    8
     2.1.2 Kitab-Kitab yang Mendasari Ajaran Konfusianisme    10
     2.1.3 Ajaran Konfusius    11
     2.1.4 Mengzi (Mensius)    15
2.2 Para Ahli Filsafat Daois    16
     2.2.1 Laozi    16
     2.2.2 Zhuangzi dan Liezi    18
     2.2.3 Perbedaan Pandangan Lain Antara Daoisme
             dan Konfusianisme    22
2.3 Aliran Legalisme (Fajia)    24
2.4 Mozi    26
2.5 Filsafat Perang Sunzi    28
BAB 3. PENUTUP    34
3.1 Kesimpulan    34
DAFTAR PUSTAKA    35




BAB 1. PENDAHULUAN


    Pada bab ini akan dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan pendahuluan yang meliputi (1) latar belakang; (2) rumusan masalah; (3) tujuan ; (4) manfaat .


1.1    Latar Belakang
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Namun, sebenarnya filsafat timur ini tidak hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi. Oleh sebab itulah, kami akan membahas lebih rinci mengenai awal kemunculan berbagai aliran filsafat di Cina.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Siapakah Kong Fuzi ?
2.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Konfusianisme?
3.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Daoisme?
4.    Siapakah tokoh-tokoh yang menganut aliran filsafat Daoisme?
5.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Aliran Legalisme (Fajia)?
6.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Mozi?
7.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Perang Sunzi?


1.3 Tujuan
Diharapkan pembaca dapat mengetahui dan mengerti  tentang para tokoh filsafat di cina dan sejarah berbagai aliran filsafat di cina.



1.4 Manfaat
Pembaca dapat meneladani sifat dan sikap positif dari para tokoh filsafat di cina dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB 2. PEMBAHASAN

        Perkembangan Awal Filsafat Cina Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.

Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.

            Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yangmembedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik.
             Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain.
            Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyakmemusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India..

Ciri-ciri Filsafat Cina:
Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.

               Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.

            Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.

    Dinasti Zhou merupakan dinasti yang terlama memerintah di China, yakni sekitar 800 tahun dan terkenal karena pencapaiannya dalam bidang filsafat. Pada masa dinasti ini, lahirlah para filosof terkemuka, seperti: Lao Zing, Kong Zi (yang terkenal di Barat dengan sebutan Confucius dan di-Indonesia-kan sebagai Konfusius atau Khonghucu), Meng Zi (lebih terkenal di Barat dengan sebutan Mercius dan di-Indonesia-kan sebagai Mensius), dan lain sebagainya. Namun, yang terpenting di antara semua ahli filsafat itu memang hanya tiga, yakni: Lao zi, Kong Zi, dan Meng Zi. Selain ketiga ahli filsafat terkemuka tersebut, terdapat pula aliran filsafat lain yang cukup penting, yakni Legalisme (fajia), karena memiliki peran signifikan dalam penyatuan kembali China di bawah Dinasti Qin.


2.1 Kong Fuzi (551-472 SM)
2.1.1 Riwayat Singkat
    Kong Fuzi juga dikenal dengan sebutan Kong Zi yang berarti “Guru Bermarga Kong). Bangsa Barat lebih mengenalnya dengan sebutan Konfusius. Hambatan utama dalam mempelajari riwayat hidup Konfusius adalah banyaknya tradisi serta dongeng yang menyelubungi riwayat kehidupannya. Kong Zi yang dilahirkan pada tahun 551 SM ini memiliki nama kecil Qiu atau Zhongni. Ayahnya meninggal dunia saat ia baru berusia 3 tahun, dan ibunya menyusul ayahnya pada waktu ia berumur 17 tahun. Pada usia 15 tahun , Konfusius telah mempelajari berbagai buku pelajaran. Menjalani kehidupan berkeluarga pada usia 19 tahun dengan menikahi gadis dari negara bagian Song bernama Yuan Guan (dalam buku tulisan Chen Wangheng disebutkan sebagai Qi Guan, sumber lain ada yang menyebutkan Kian Goan dalam Dialek Hokkian). Anak pertama Konfusius lahir setahun kemudian dan diberi nama Kong Li.
    Sebagai seorang pemuda, ia cepat dikenal sebagai orang yang bijaksana, sopan dan senang belajar. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan oleh Konfusius, antara lain sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan.
    Dalam memegang jabatan pemerintahan, ia sangatlah arif dan bijksana, sehingga selalu mendapatkan    promosi jabatan (dari usia 35 tahun sampai 60 tahun). Konfusius pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Sesudah mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, Konfusius lebih banyak berdiam di rumah untuk menerbitkan Kitab tentang Puisi atau Kitab Sajak (The Book of Poetry / Odes= Shijing), mengubah musik, dan menyusun tata krama kuno, termasuk menulis dan menerbitkan Kitab sejarah Musim Semi dan gugur ( Spring and autumn Annals= Cungiu). Meskipun demikian, para ahli tidak menganggap kitab-kitab tersebut sebagai asli berasaldari Konfusius.
    Ahli filsafat besar China ini juga selalu meluangkan waktu untuk memberi kuliah dan berbagi pengetahuan dengan murid-muridnya. Dia menerima siapa saja, tanpa memandang miskin atau kaya, semuanya diberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga jumlah muridnya berkembang pesat. Dalam usia 67 tahun, ia kembali ke tempat kelahirannnya untuk mengajar dan mengabadikan tradisi-tradisi kuno dalam bentuk tulisan.
    Konfusius wafat pada tahun 472 SM dalam usia 73 tahun. Menurut kitab Shiji (Catatan Sejarah) karya Sima Qian, dijelaskan bahwa 72 muridnya menguasai enam jenis seni, demikian juga terdapat kurang lebih 3000 orang yang mengaku sebagai pengikut Konfusius waktu itu. Ajaran Konfusius juga disebut dengan rujia.


2.1.2 Kitab-Kitab yang Mendasari Ajaran Konfusianisme
Para ahli mengatakan bahwa kitab selain  Xiaojing, kitab yang benar-benar ditulis oleh Konfusius, dapat dikatakan hampir tidak ada (meskipun para penganut Konfusianisme meyakini kitab-kitab tersebut asli karangan Konfusius sendiri). Sedangkan kitab-kitab yang sekarang kita kenal sebagai kitab-kitab Konfusianisme, sesungguhnya adalah hasil penghimpunan kembali oleh seorang ahli filsafat Konfusianis, bernama Zhu Xi (1130-1200) yang hidup semasa dinasti Song.
Berikut ini daftar lengkap kitab-kitab yang mendasari Konfusianisme sebagaimana yang kita kenal sekarang:
•    Zhouyi, berasal dari kitab Yijing dan Yizhuan yang digabung menjadi satu.
•    Shujung atau Shangshu, catatan-catatan politik dinasti Zhou dan zaman sebelumnya.
•    Shijing, catatan nyanyian pada zaman dinasti Zhou.
•    Zhouli, mencatat sistem pemerintahan dan organisasi negara pada zaman Dinasti Zhou.
•    Yili, adat istiadat para bangsawan.
•    Cungiu Zhuozhun, buku sejarah bagian Lu yang dikarang oleh orang kerajaan Ji bernama Gong Yang Zi.
•    Chungiu Gongyang Zhuan, yang dikarang oleh kerajaan Ji bernama Gong Yang Zi.
•    Cungiu Kailiang Zhuan, dikarang oleh murid Zi Xia (muridnya Konfusius juga yang akhirnya menjdi penganut fajia), yaitu Kai Liang.
•    Lunyu, pada awalnya itu bukan disebut Lunyu, bahkan ada dua jenis, yaitu Jiliun dan Lulun. Lunyu yang sekarang ini dirangkai kembali oleh Zhang Yi yang berdasarkan dari kitab Jilun dan Lulun. Sering disebut Zhang Hou Lun.
•    Mengzi, buah karya mengzi, sarjana Konfusianis terkemuka.
•    Xiaojing, yang diyakini sebagai karya Konfusius.
•    Erya, buku-buku syair yang dipercaya dibuat oleh Zhou Gong.
•    Liji, membahas tentng kebjikan dan adat istiadat. Diyakini telah dicatat dan dikumpulkan oleh 70 murid Konfusius. Di dalamnya terkandung kitab Daxue dan Zhongyong.
Sebelumnya pada masa Dinsti Han, kita hanya mengenal enam kitab atau Liu Jing:
•     Shijing
•    Shujing atau Shangshu
•    Lijing yang mempunyai 3 bagian , yaitu Liji, Yili, dan Zhouli
•    Zhouyi
•    Cungiu
•    Yuejing
2.1.3 Ajaran Konfusius
Pada masa hidupnya Konfusius mengalami kemerosotan Dinasti Zhou. Pada zamannya, apa yang dimaksud dengan adat istiadat telah menjadi semacam peraturan-peraturan upacara pengorbanan dan kesopanan basa-basi semata. Kemerosotan moral terjadi di mana-mana. Konfusius mengajarkan kebajikan dengan harapan bisa membawa perubahan pada masa yang kacau itu.
Filsafat Konfusius didasarkan pada pendidikan moral masing-masing individu. Ia selalu mendorong seseorang untuk berbuat baik. Dalam  Lunyu, Konfusius menekankan ren yang artinya kebajikan. Arti kata ren sendiri adalah “Kasihanilah sesamamu, jangan lakukan perbuatan terhadap orang lain apabila engkau tidak suka diperlakukan demikian” dan juga mengandung pengertian yang berupa keinginan untuk mengembangkan diri maupun sesama kita. Konfusius juga membahas mengenai Li  yang dapat diartikan sebagai tata krama atau adat istiadat. Arti Li sendiri pada mulanya adalah “berkorban”, yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi upacara adat-istiadat pengorbanan pada leluhur sebagaimana yang dilakukan oleh para kaisar. Makna Li  kemudian juga mencakup tata cara basa-basi dan pandauan berperilaku bagi kaum bangsawan terhadap sesama mereka. Adat istiadat upacara pengorbanan yang berlaku saat itu banyak berisi hal-hal remeh seperti tata cara meletakkan jari tangan saat memungut benda-benda upacara. Tatacara itu telah menjadi suatau rumusan baku yang tidak berubah lagi. Konfusius memberikn kritikan terhadap adat istiadat yang berlaku saat itu dengan memberikn definisi baru bagi Li . ia mengkritik:
Bila para penguasa bersunggguh-sungguh dalam menyelenggarakan upacara pengorbanan pada leluhur, mengapa mereka tidak bersungguh-sungguh pula dalam memperbaiki pemerintahan? Bila para menteri memperlakukan sesama menteri dengan adat istiadat kesopanan pergaulan istana, mengapa mereka tidak memperlakukan rakyat yang merupakan tulang punggung negeri dengan cara yang sama. Konfusius mengajarkan pada muridnya untuk memperlakukan setiap orang dimana saja, seolah-olah sedang menerima tamu penting, dan apabila menjadi seorang pegawai pemerintahan ia hendaknya memimpin rakyatnya seolah-olah sedang menyelengggarakan upacara pengorbanan besar-besaran pada leluhur .
Lebih jauh lagi ketika seorang muridnya bertanya mengenai apakah hakikat li itu, Konfusius menjawabnya sebagai berikut:
Ini pertanyaan penting! Sehubungan dengan masalah upacara, seandainya seseorang dalam salah satu aspeknya terpaksa berbuat kesalahan, maka kesalahan itu lebih baik berupa sikap terlalu hemat daripada terlalu boros. Pada upacara pemakaman serta perkabungan, mereka yang berkabung lebih baik benar-benar merasa sedih, daripada terlampau mementingkan segala sesuatunya hinggga ke hal yang sekecil-kecilnya .
Konfusius di dalam Lunyu berangggapan bahwa Li dan kebajikan itu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Konfusius menerangkan kepada mmuridnya YanYuan mengenai definisi kebajikan sebagai berikut:” menguasai diri serta mengikuti adat istiadat artinya adalah berbuat baik. Jika tidak sesuai dengan adat istiadat jangan didengarkan, jika tidak sesuai dengan adat istidat jangan diucapk, jika tidak sesuai dengan adat istiadat jangan dilakukan.” Ketika membahas kewajiban seorang anak, Konfusius menjelaskan, “selama orang tuamu masih hidup, taatilah adat istiadat dalam mengasihi mereka; setelah mereka meningggal, taatilah adat istiadat dalam menguburkan mereka; Meskipun sangat menghormati adat istiadat, tetapi Konfusius juga mengajarkan agar kita jangan terikat padanya, di mana ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah ragu untuk menyimpang dari tata krama yang sudah diterima oleh tradisi, asalkan penyimpangan itu dilakukan dengan alasan yang masuk akal dan sopan santun. Kita disini dapat melihat bahwa selain membicarakan tentang ren,  Konfusius juga membahas mengenai adat istiadat (li). Karena keduanya merupakan hubungan yang amat penting dalam membina kebajikan. Konfusius telah memperluas makna li dari sekedar aturan upacara dan tata krama serta peraturan yang remeh-temeh menjadi suatu tata krama yang lebih universal.
Konfusius merupakan seorang filosof yang enggan membicarakan hal-hal metafisik dan lebih menekankan pembahasan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup di dunia. Kita akan mengutip tanya jawab berikut ini antara Konfusius dan seorang muridnya:
Seorang murid lain bertanya bagaimana seharusnya seseorang berbakti kepada arwah nenek moyang. Konfusius menjawabnya, “engkau sendiri masih belum sanggup berbakti kepada arwah leluhur?” murid tersebut lalu bertanya mengenai kematian, tetapi Konfusius menjawab,”engkau sendiri belum memahami kehidupan, bagaimana mungkin memahami kematian?” 
Jadi, Konfusius mengajarkan muridnya untuk lebih dahulu memahami kehidupan dan hubungan sesama manusia sebelum membahas hal-hal metafisika. Sebaliknya, Konfusius malah mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam batasan –batasan tertentu (meskipun tidak selamanya demikian)  manusia dibentuk oleh masyarakat, dan sebaliknya pada sisi lain, masyarakat juga dibentuk oleh orang yang membentuknya. Sehinggga kita boleh mengatakan bahwa ada interaksi timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Konfusius berpendapat bahwa seseorang hendaknya tidak menarik diri dari massyarakat ataupun bersikap membabi buta mengikuti apa yang diangggap benar oleh khalayak ramai. Ia mengatakan bahwa manusia bermoral hendaknya tidak menyia-nyiakan hidupnya, melainkan harus tetap bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat lainnya untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Sebagai ahli filsafat pada zamannya Konfusius juga membicarakan apa yang dinamakan dengan dao. Kata ini sendiri dapat diterjemahkan sebagai “jalan” atau “cara”. Sebelum masa hidup Konfusius, kata dao  dipakai dalam artian jalan secara harfiah atau cara berperilaku seseorang yang dapat berupa sesuatu yang baik ataupun buruk. Berbeda dengan para penganut Daoisme yang akan kita bahas kemudian, Konfusius menggunakan dan mengartikan dao bukan dalam artian mistik, melainkan sebagai suatu jalan yang harus diikuti umat manusia agar mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagaimana halnya li yng mencakup adat istiadat dan tata krama, dao ada satu pihak berisikan hukum kesusilaan yang hendaknya ditaati seta pola pikir yang dapat mengembangkan kepribadian setiap orang.
Sehubungan dengan bidang pemerintahan, Konfusius mengatakan bahwa pemerintahan harus ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Hal ini hanya dimungkinkan bila pemerintahan dikelola oleh orang-orang yang cakap dan tidak ada sangkut pautnya dengan kekayaan atau keturunan. Kecakapan memerintah itu dapat diperoleh melalui pendidikan yang tepat. Oleh karena itu, Konfusius menekankan pentingnya menyebarluaskan pendidikan, sehingga orang berbakat dari kalangan rakyat dapat dipersiapkan untuk menduduki pemerintahan sehingga mendorong kesejahteraan dan kemakmuran negara.
2.1.4 Mengzi (Mensius)
Mengzi adalah salah satu tokoh penting Konfusianisme yang lain, yang hidup antara tahun 372-289 SM. Ia mewariskan pada kita sejilid kitab yang diberi judul namanya sendiri. Ada sumber sejarah yang mengatakan bahwa Mengzi pernah belajar pada cucu Konfusius bernama Zisi. Mengzi pernah memberikan saran kepada para raja, seperti raja Xuan dari Qi dan Raja Hui dari liang. Mengzi memiliki keyakinan bahwa manusia pada dasarnya baik, sehingga tujuan pembinaan yang diberikan pada mereka adalah mengembalikan sifat aslinya itu. Kebaikan asli ini dapat berkembang baik atau justru terhambat perkembangannya. Namun pada dasarnya, kebaikan ini telah ada dalam diri kita semenjak lahir.
Mengzi juga memliki sumbangsih penting dalam bidang demokrasi, sebagaimana yang tercantum dalam kitab karyanya ( buku VII bagian 2, buku XIV bagian 1) berikut ini:
Rakyat adalah bagian yang paling penting.... dan penguasa adalah bagian yang paling terakhir kepentingannya.
Berdasarkan kutipan di atas, jelas sekali bahwa menurut Mengzi pemerintah hendaknya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya. Prinsip demokratis kedua yang diajarkan Mengzi adalah keseteraan umat manusia. Ia mengatakan dalam buku VI bagian 1 dan buku VII bagian 2:
Manusia bijaksana adalah manusia biasa yang sama dengan kita semua
    Selanjutnya, aturan mengenai kenaikan jabatan dan juga hukum yang berlaku, hendaknya tidak didasari oleh keputusan para pejabat saja, melainkan oleh suara rakyat banyak (buku I bagian 2 dan buku VII bagian 4-5). Pemerintahan yang baik hendaknya ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat (buku I bagian 1). Bahan Mengzi juga mengajarkan bahwa penguasa yang zalim boleh digulingkan oleh rakyat ( buku  I bagian 2 dan buku VIII bagian 3).
    Selain itu, masih banyak lagi ide-ide demokratis Mengzi yang tercantum dalam kitabnya itu. Sehingga boleh dikatakan bahwa bangsa China telah mengenal paham demokrasi sejak lama.


2.2 Para Ahli Filsafat Daois
    2.2.1 Laozi
    Perbedaan utama antara Konfusius da Laozi adalah dalam segi riwayat hidupnya yang masih diselubungi kegelapan sejarah. Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai riwayat hidup ahli filsafat yang bernama asli Li Er ini. Sejarawan terkemuka China bernama Sima Qian yang menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, mengatakan bahwa Laozi berasal dari desa Churen, provinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibukota Loyang dari kerajaan Chu. Marga Laozi adalah Li, sedangkan nama panggilannya adalah er. Ia sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Zhou. Sebagai seorang ahli perpustakaan, ia memiliki keempatan untuk membaca literatur-literatur klasik sehingga pada akhirnya juga dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang perbintangan serta peramalan.
    Tatkala usianya telah lanjut, Laozi mengundurkan diri dan pekerjaannya sebagai ahli perpustakaan kerajaan untuk mengasingkan diri. Saat hendak meninggalkan ibukota, seorang penjaga gerbang bernama lin Yixi menghentikan langkahnya, serta meminta agar dituliskan sebuah kitab. Permintan ini diluluskan Laozi. Ia menuliskan sejilid kitab singkat yang hanya terdiri dari 5000 huruf Thionghoa dan setelah itu menyerahkannya pada sang penjaga gerbang. Laozi meninggalkan ibukota dan tidak pernah terdengar kembali kabar beritanya. Kitab singkat yang berjudul  Daodejing  itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan bagi para penganut Daoisme.
    Berbeda dengan penganut Konfusianisme, dao menurut Daodejing  diartikan secara metafisik, yakni sebagai bahan dasar penyusun segala sesuatu. Dao bersifat sederhana dan tanpa bentuk, tanpa keinginan, tanpa nama, serta tanpa gerakan ataupun daya upaya. Dao ini telah ada sebelum adanya langit dan bumi. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh diri manusia dari dao, semakin berkuranglah kebahagiannya. Daodejing  mengatakan:
    Dao bagaikan bejana yang meskipun hampa
    Dapat ditimba tanpa hingga
    Dan tiada berguna untuk mencoba mengisinya
    Begitu luas dan dalamnya
    Hingga tampak sebagai yang tertua dari yang ada
    Bila terbenam di dalamnya, ujung yang paling tajam akan menjadi rata
    Masalah tersulit akan sirna
    Cahaya gemilang penebar kebahagiaan
    Segala yang tak mungkin kembali menjadi sesuatu yang sederhana
    Ia adalah setenang alam kematian
    Aku tak mengetahui putra siapakah ia.
    Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dao bagi penganut daoisme merupakan sesuatu yang asli sebelum tercemari oleh pikiran-pikiran bentukan manusia. Karena bersifat asli, ia bersifat alami pula dan bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikin, orang yang menjalankan dao akan menghindari banyak lagak dan mementingkan kesederhanaan serta kewajaran. Kitab Daodejing mengajarkan kembali bagaimana cara hidup sederhana secara wajar:
    Sepuluh ribu hal telah terjadi
    Dan kusimak semuanya kembali
    Betapa pun terjadi kesemarakan yang semakin tinggi
    Masing-masing pada akhirnya akan berpulang pada kondisi asli
    Kembali pada kondisi asli ini berarti mencapai kedamaian abadi
Itulah kedemikianan segala sesuatu
Kedemikianan itu merupakan suatu pola tanpa akhir
Memahami pola tanpa akhir itu berarti mencapai pencerahan
Barang siapa yang tak memahaminya akan kering dan layu oleh musibah
Yang mengenal pola abadi ini akan mencakup segalanya
Mencakupi segalanya dengan sikap adil sempurna
Adil sempurna menjadikannya penguasa
Seorang penguasa menjadi sama dengan para dewa
Serupa degan para dewa berarti sejalan dan sehati dengan dao
Sejalan dan sehati dengan dao berarti satu dengan dao itu sendiri, ia tak terbinasakan
Meskipun tubuhnya dapat lenyap ditenggelamkan samudera kehidupan
[tetapi] akanlah luput dari segenap gangguan .
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Dao mengajarkan manusia untuk menyelaraskan diri dengan hukum hakiki alam semesta. Terlalu memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar jangkauannya adalah suatu kesalahan.
   
2.2.2 Zhuangzi dan Liezi
Setelah zaman Laozi, terdapat banyak ahli filsafat terkenal lainnya yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan Daoisme seperti Zhuangzi, Daoisme memasuki tahapan baru. Terdapat perbedaan ajaran-ajaran mereka dengan daoisme yang lebih awal ataupun filsafat yang terdapat dalam Daodejing.
Sebelumnya, keterlibatan seseorang di dalam politik masih dimungkinkan, namun Zhuangzi dan Liezi mengajarkan bahwa seseorang suciawan mustahil untuk terlibat dalam politik. Pengertian wuwei (secara harfiah berarti “tidak berbuat”) berubah menjadi “tidak terlibat” ataupun “membiarkan sesuatu sebagaimana adanya”. Para suciwan tidak lagi memedulikan hal-hal duniawi. Orang awam terperangkap dalam kemashyuran serta keewahan, tetapi sebaliknya para suciwan menghindarinya, sehingga mereka benar-benar terbebas dari segenap permasalahan duniawi.
Perbedaan berikutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, dao menurut daodejing adalah kekuatan yang baik. Namun, Zhuangzi dan Liezi memandang dao sebagai kekuatan yang bersifat netral. Ia masih merupakan dasar bagi keberadaan segala sesuatu, tetapi tidak lagi merupakan suatu kekuatan yang bajik. Lebih jauh lagi, menurut keduanya, dao tidak lagi memegang atas kendali atas segala sesuatu pun yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Terlepas dari semua perbedaan tersebut, ajaran Zhuangzi dan Liezi masih memiliki banyak kesamaan dengan ajaran daoisme dari periode sebelumnya. Dao masih dipandang sebagai sesuatu yang tak bernama, tanpa bentuk, serta tak dapat dipahami dengan rasio manusia biasa. Mereka yang dapat memahami hakikat dao beserta cara bekerjanya adalah orang yang tercerahi.
Di dalam daodejing, dao dipandang sebagai asal-muasal segala sesuatu. Zhuangzi mengolah kembali pandangan ini dengan mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki asal-muasal yang sama. Tidak ada sesuatu pun yang lebih berharga dibandingkan yang lainnya. Begitu pula manusia tidak lebih berharga dibandingkan hewan. Selain mengajarkan prinsip kesetaraan segala sesuatu ini, Zhuangzi juga mengajarkan bahwa hidup ini mengalami transformasi yang terus menerus dari dao.
Zhuangzi mewariskan pada kita sebuah kitab yang diberi judul namanya sendiri, yakni kitab Zhuangzi. Kitab ini memiliki judul lain yang berbunyi nanhua zhenjing (kitab klsik kemurnian dari nanhua). Di dalamnya juga terdapat pandangan shamanistik mengenai para suciwan, misalnya dikatakan bahwa mereka dapat terbang ke langit, berbicara dengan hewan, serta memiliki kekuatan-kekuatan atas unsur-unsur alam. Sedangkan Liezi meninggalkan sebuah kitab yang juga diberi judul sesuai dengan namanya.
Zhuangzi dikatakan lahir di China bagian tengah yang kini terletak di provinsi Henan serta mempunyai jabatan rendah dalam pemerintahan. Hanya sedikit riwayat yang kita kenal mengenai dirinya. Kitab hasil karyanya itu terdiri dari 33 bagian, yang masih dibagi lagi menjadi bagian” luar” dan “dalam”. Bagian “dalam” meliputi tujuh bagian pertama. Sebagian besar di antara tujuh bagian pertama ini dianggap autentik oleh para ahi, sedangkan bagian selanjutnya diduga sebagian besar palsu. Zhuangzi mengajarkan relativitas dari segala sesuatu, sebagaimana yang tampak dari kutipan menarik kitab zhuangzi berikut ini:
Suatu kali, aku, Zhuang Zhou (nama pribadi Zhuangzi, penulis), bermimpi bahwa aku menjadi kupu-kupu dan merasa bahagia sebagai kupu-kupu. Aku merasa sadar bahwa aku merasa cukup puas dengan diriku sendiri, namun aku tidak mengetahui bahwa aku adalah zhou. Aku tidak tahu apakah zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah sang kupu-kupu yang bermimpi menjadi zhou. Antara zhou dan kupu-kupu pastilah terdapat perbedaan. Inilah yang disebut transformasi segala sesuatau.
Relativitas segala sesuatu ini makin ditegaskan pada kutipan berikut ini:
    Bila seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun, ia akan merasa bahwa punggungnya sakit....namun apakah hal yang sama berlaku pada seekor belut? Jika seseorang mencoba untuk berdiam di atas pohon, maka ia akan pingsan karena ketakutan.namun, apakah hal yang sama berlaku pada seekor monyet? Di antara ketiga hal ini, manakah yang mengetahui habitat yang (paling) benar untuk hidup?manusia makan daging, rusa makan rumput, kelabang menyukai ular, burung hantu dan burung gagak memakan tikus. Dapatkah anda mengatakan manakah makanan yang (paling) benar diantara keempat makhluk ini?....orang memandang Mao Chiang dan Li Ji sebagai wanita-wanita tercantik, tetapi begitu melihat mereka, ikan-ikan menyelam jauh ke dalam air (untuk menyembunyikn diri) dan sementara itu burung-burung lari beterbanagan...(lalu jika demikian), manakah tolak ukur yang benar mengenai kecantikan? .
    Sebagaimana ajaran yang terkandung dalam daodejing, Zhuangzi juga mengatakan bahwa memaksa mengusahakan sesuatu di luar kemampuan kita adalah suatu kekeliruan. Ia mengatakan:
    Mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan.
    Sikap untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam melakukan sesuatu ini mendorong timbulnya gerakan pertapaan bagi kaum daois, dimana hal ini ditentang oleh penganut Konfusianisme yang mengajarkan diri untuk tidak menarik diri dari masyarakat.
    Kini kita akan mengutip sedikit ajaran Liezi:
    Tak ada seorang pun yang berusia lebih dari seratus tahun, dan tidak ada satu dari seribu orang yang dapat mencapai usia seratus. Dan bahkan orang yang satu ini menghabiskan setengah dari kurun waktu kehidupannya sebagai anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang pada siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu semua, ia masih didera oleh rasa sakit, penyakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran, serta ketakutan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih, boleh dikatakan bahwa tidak sampai satu jam seseorang dapat merasakan kedamaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya, tanpa diganggu oleh rasa cemas.
    (bila demikian) untuk apakah manusia hidup? Apakah kesenangan yang dapat diperoleh dari kehidupan itu?apakah kita hidup untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Apakah untuk menikmati keindahan suara dan warna semata?bukankah ada saatnya ketika keindahan dan kekayaan tidak lagi memenuhi kesenangan hati, dan ada pula saatnya ketika suara dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga serta mata.
    Apakah kita hidup agar ditakut-takuti sehingga tunduk pada hukum dan kadang-kadang bertindak nekad (melawan hukum) karen didorong oleh upah atau ketenaran? Kita merusak diri sendiri dengan berusaha mati-matian merangkak ke atas, sambil berusaha untuk mereguk pujian dangkal yang diperdengarkan satu jam semata. Mencari akal untuk menemukan bagaimana caranya nama baik kita tetap dikenang setelah kematian. Kita bergerak melintasi dunia dalam suatu celah sempit yang penuh dengan berbagai hal remeh yang kita lihat serta dengar, sambil berpikir berdasarkan prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, tanpa menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya.
    Orang di zaman dahulu menyadari bahwa kehidupan dan kematian datang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengingkari salah satupun dari keinginan-keinginan alami mereka, dan tidak pula menekan satupun di antara hasrat-hasrat mereka. Mereka menyimak melalui kehidupan, sambil memperoleh kesenangan yang digerakkan oleh detak jantung mereka. Karena  pula tidak memedulikan nama serta pujian, cepat atau lambat, usia panjang atau pendek.... 
    Ungkapan Liezi di atas mengajak umat manusia untuk merenungkan hakikat kehidupan mereka. Manusia telah lahir dalam suatu dunia yang tidak ikut diciptakannya sehinggga tidak dapat dipahaminya secara penuh. Hal ini diperberat lagi oleh belenggu-belenggu kewajiban serta ketakutan. Manusia masih membebani dirinya dengan tuntutan pada diri sendiri agar melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Kita dapat menyimpulkan bahwa intisari dari ajaran ini adalah anjuran untuk menghilangkan segenap kecemasan, menghadapi hidup sebagaimana adanya, dan tidak terperangkap oleh hal-hal yang tidak bermanfaat.

            2.2.3 Perbedaan Pandangan Lain Antara Daoisme dan Konfusianisme
Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam hal keahlian. Untuk memperjelas hal ini, kita akan mengutip apa yang diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:
Ada kata lain bagi keadilan (justice) atau hukum. Dalam bahasa Tionghoa, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak korban persembahan. Dalam peradaban Cina kuno, kaisar menuliskan hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga ketika korban dibawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian, penasehat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya, dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan sebuah undang-undang ( khususnya undang-undang pajak) semua penasehat hukum berkumpul dan mencari celah untuk melanggarnya. Mereka mengatakan,”undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin menerbitkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois menertawakan mereka dan berkata, “Jika anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa anda mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?” sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika anda membicarakan beragam hakim dengan penasehat hukum manapun, ia akan berkata, “hakim smith lebih mengacu pada hukum secara harfiah, namun hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai kecenderungan untuk “bermain sportif”, dan figur itulah yang dipercaya oleh hakim.”
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti “keadilan” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme mengatakan bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata. Menurut hemat penulis, kedua-duanya tidak ada yang salah. Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki hukum. Jadi, semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.


2.3 Aliran Legalisme (Fajia)
    Aliran Legalisme (fajia) adalah aliran yang menitikberatkan pada sistem pemerintahan. Para penganut fajia banyak yang mengabdikan dirinya pada kerajaan Qin, seperti Shang Yang, dan kemudian Han Feizi serta Li Si yang mengabdi pada kaisar Qin Shihuangdi.
Dalam kitab Han Feizi, diterangkan secara gamblang bahwa kaum moralis (yang diwakili oleh kaum Konfusius) mustahil cocok dengan kaum legalis. Pemikiran ini dapat dianalogikan dengan kisah tombak sakti yang sanggup menembus segalanya dan perisai sakti yang tidak dapat ditembus oleh apapun.
    Fajia dipopulerkan oleh Xunzi (Xun Qing) dan banyak penganut Konfusianisme yang beralih pada legalisme karena beranggapan bahwa aliran filosofi ini lebih cocok untuk mengatur negara. Zi Xia dan Wuzi (Wu Qi) adalah dua contoh penganut Konfusianisme yang kemudian berpindah menganut legalisme. Wu Qi adalah salah seorang tooh menarik dari negeri Lu yang hidup pada masa perang antar negeri. Saat masih kanak-kanak, ia lari dari rumah karena ditegur ibunya akibat bertingkah ceroboh. Ia bersumpah tidak akan pulang kerumah sebelum berhasil menjadi panglima tertinggi atau perdana menteri. Wu Qi pernah pula diusir oleh gurunya karena dianggap kurang berbakti pada orang tua, yakni tatkala ibunya meninggal,  ia hanya menangis sebentar dan setelah itu kembali menekuni bukunya seoalah-olah tidak terjadi suatu apapun. Suatu ketika negeri Lu diserang oleh Qi, tetapi raja masih ragu-ragu untuk mengangkat Wu Qi sebagai panglima tertinggi karena isterinya masih kerabat raja Qi. Demi memperoleh jabatan yang didambakannya itu, Wu Qi memenggal kepala isterinya dan mempersembahkannya pada raja Lu. Sang raja sebenarnya kurang begitu senag dengan tindakan Wu Qi ini, tetapi ia menyadari orang seperti Wu Qi sangat mungkin akan membelot ke pihak lain bila tidak mendapat apa yang diinginkannya. Raja kemudian mengangkatnya sebagai panglima tertinggi dan ternyata Wu Qi memang berhasil membuktikan kemampuannya memukul mundur serbuan Qi. Namun, tokoh eksentrik yang terbiasa membangkitkan kemarahan majikannya ini pada akhirnya harus hengkang ke negeri lain. Mula-mula ia pergi ke negeri  Wei dan setelah itu Chu. Raja Chu Daowang mengangkatnya menjadi perdana menteri dan Wu Qi melakukan berbagai reformasi, seperti:
•    Mendasarkan pemerinth atas hukum yang kuat.
•    Merampingkan birokrasi
•    Penghapusan  pewarisan gelar bangsawan setelah keturunan yang ketiga dan mengalihkannya pada para prajurit yang telah berjasa bagi negara.
Sebagai hasil reformasi Wu Qi itu, Chu dengan segera menjadi negara yang kuat dan ditakuti. Tetapi, ketika raja mangkat, para bangsawan yang kehilangan gelarnya memanfaatkan hal itu untuk balas dendam. Para bangsawan mulai masuk ke istana dan mengejar Wu Qi hingga ke kamar-kamar istana. Dengan keadaan terluka parah, Wu Qi masuk ke ruangan tempat jenazah almarhum raja ditempatkan dan memeluknya erat-erat, sehingga akhirnya tubuh sang raja juga tertancap anak panah. Tindakan Wu Qi ini mungkin sulit dimengerti. Namun, segalanya akan menjadi jelas tatkala kita meninjau kembali undang-undang yang sebelumnya pernah dibuat oleh Wu Qi, yang menyatakan bahwa barang siapa yang merusak tubuh raja dapat dikenai hukum mati. Pengganti raja Chu menjalankan undang-undang ini dan menghukum mati para bangsawan itu, demikianlah, Wu Qi berhasil membalaskan dendam kematiannya sendiri bahkan ketika ia sudah wafat.
Secara umum, legalisme membahas 3 faktor pokok dalam seni memerintah.
•    Fa atau hukum ( pemberian penghargaan dan hukuman)
•    Shu atau seni/teknik mengawasi
•    Shi atau wewenang / kekuasaan
Prinsip ini tetap digunakan oleh Liu Bang, pendiri dinasti Han (yakni dinasti yang memerintah setelah Qin) meskipun pada dasarnya ia menganut Konfusianisme. Kita dapat melihat bahwa sistem manajemen modern juga menerapkan prinsip-prinsip ini. Penerapan fa atau hukum dalam perusahaan, dapat berwujud aturan perusahaan, kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Seni pengawasan atau shu pada perusahaan modern adalah berupa sistem supervisi yang rapi. Dan pemantauan kualitas (quality control) termasuk di dalamnya. Kekuasaan atau wewenang (shi) pada manajemen modern dapat diwujudkan dalam bentuk sistem atau hierarki manajerial perusahaan. Penetapan struktur organisasi perusahaan adalah wujud pengaturan kekuasaan atau wewenang ini.
Kerajaan Qin memang dapat dikatakan sebagai penganut fanatik paham legalisme. Perdana menteri Li Si yang membantu Qin Shihuang ( Ying Zheng) juga penganut fajia. Han Feizi, rekan Li Si, sama-sama penganut legalisme. Hanya saja karena iri dengan karier rekannya itu, Li Si memfitnah Han Feizi hingga dijatuhi hukuman mati.


2.4 Mozi
    Mozi (480-390 SM) hidup kurang lebih 60 tahun setelah Konfusius. Ia hidup pada masa perang antar negeri yang merupakan zaman peperangan serta kekacauan, sehingga filsafatnya yang diajarkannya itu merupakan reaksi terhadap situasi peperangan yang mengamuk pada masa itu. Ia mengatakan bahwa usaha untuk mencapai kemenangan dalam perang, pengumpulan kekayaan, pengembangan kekuatan perang, serta peperangan itu sendiri, hanyalah semata-mata bentuk lain dari perampokan. Untuk mengatasi keadaan kacau itu, ia menawarkan beberapa cara, seperti mengembangkan rasa cukup yang ideal, melaksanakan peraturan dengan disiplin, serta membangkitkan rasa takut atau segan terhadap para dewa. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa mozi seseorang yang sangat menentang perang dan menekankan perdamaian.
    Karena menganggap bahwa penyebab peperangan tanpa henti pada masanya itu bersumber pada sikap mementingkan diri sendiri, Mozi menganjurkan sikap altruistik (jianai) yang terbebas dari pola pikir egoistik. Untuk menghindari perang atau menyerang negara lain secara tidak adil, para pengikut Mozi berikrar untuk hidup dalam pengasingan serta kemiskinan.
    Peninggalan Mozi adalah sebuah kitab yang berjudulkan namanya sendiri. Isinya antara lain membahas berbagai tema seperti “ menentang agresi”,”kehendak langit”, “mengenai keberadaan para dewa”, dan lain sebagainya. Yang menarik untuk dicatat dari kitab itu adalah  untuk dicatat dari kitab itu adalah penentangannya terhadap musik:
    Apakah yang menyebabkan penguasa melalaikan pemerintahan dan orang kebanyakan melalaikan pekerjaannya ?Musik! Karenanya, kata Mozi, memainkan musik adalah sesuatu yang salah.
    Ini tentu saja berbeda dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa:
    Musik menimbulkan kesenangan, yang tanpanya kodrat manusia tidak dapat tampil.
    Mozi juga banyak memberikan berbagai kritikan terhadap ajaran Konfusianisme, seperti yang tercantum dalam bab 39 kitab karyanya itu/;
    Suatu ketika, Konfusius beserta sahabat-sahabatnya mengadakan perjalanan dari Cai ke Chen, di mana mereka mengalami kesulitan karena kehabisan bahan makanan. Mereka hanya makan sup sayur tanpa nasi. Sepuluh hari kemudian, Zi Lu memakan daging babi. Konfusius tidak menanyakan dari mana daging babi itu diperolehnya dan memakannya. Zi Lu merampok pakaian seseorang dan menukarnya dengan anggur. Konfusius tidak menanyakan darimana ia memperoleh anggur itu dan meminumnya. Namun, ketika raja Ai menjamunya, tidak bersedia duduk dan tidak mau makan daging yang tidak disajikan sebagaimana mestinya. Zi Lu menemuinya dan bertanya, “ mengapa anda berbuat demikian? Mengapa berbeda dengan yang Anda lakukan saat kita berada di perbatasan negeri Chen dan Cai? Konfusius menjawab” Aku akan memberitahumu. Waktu itu tujuan kita adalah untuk bertahan hidup. Sekarang tujuan kita adalah berbuat baik.”
    Mozi memberikan komentarnya:
    Jadi ketik lapar, ia tidak peduli akan cara mempertahankan kehidupan, dan ketika kenyang ia berbuat seolah-olah berbudi. Betapa dungu, munafik, jahat, dan  palsunya perubatan semacam ini.
    Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Mozi tidak setuju dengan pandangan Konfusius bahwa orang boleh melakukan apa saja bila tujuannya untuk mempertahankan hidup. Terlepas dari semua itu, pengaruh Mozi dalam dunia filsafat Tionghoa tidaklah begitu besar serta tidak sebanding dengan pengaruh Konfusius.

2.5 Filsafat Perang Sunzi
    Dewasa ini, telah banyak karya-karya yang ditulis mengenai filsafat perang Sunzi (abad ke 6 SM), dimana ini menunjukkan bahwa filsafat Sunzi tidak hanya dapat diterapkan pada zaman dahulu saja atau dalam peperangan saja, melainkan juga dalam manajemen modern telah banyak buku-buku yang ditulis mengenai aplikasi kiat-kiat strategi Sunzi ini pada dunia bisnis dewasa ini.
    Sunzi menulis sebuah kitab yang berjudul Sunzi Bingfa atau Kitab Seni Perang Sunzi. A menjelaskan kepada raja Wu Helu (514-496SM) mengenai keampuhan siasat ini. Raja yang tdak percaya begitu saja memerintahkan Sunzi untuk membuktikan ucapannya itu. Sunzi mengatakan bahwa ia sanggup melatih wanita dan anak-anak menjadi tentara yang tidak terkalahkan. Raja Wu lantas memanggil 180 gadis istana, yang dibagi menjadi 2 barisan dengan dua orang selir kesayangan Kaisar sebagai komandannya. Sunzi menjelaskan pada mereka gerakan-gerakan yana harus dilakukan berdasarkan bunyi tambur tertentu. Tetapi, keika tambur ditabuh yang artinya memerintahkan mereka untuk berbalik kanan, para wanita malah tertawa terkekeh-kekeh. Meskipun telah diberi penjelasan berulang-ulang, mereka belum dapat berlaku serius. Untuk mengatasi kesembronoan itu, Sunzi memerintahkan pemenggalan kepala dua orang selir kesayangan raja karena dianggap gagal melaksanaan tugasnya sebagai komandan dan mengangkat dua orang lainnya sebagai pengganti mereka. Sebagai hasilnya, kedua barisan wanita itu kini bersedia mematuhi isyarat tambur dengan baik, layaknya prajurit sungguhan yang tangguh. Meskipun demikian, raja menjadi murung karena kehilangan dua orang selir kesaayangannnya itu. Karenanya, Sunzi berkata pada raja, bahwa sang raja hanya menyukai kata-kata yang tertulis dalam kitabnya saja, tetapi tidak tahan untuk melaksanakannya. Mendengar ucapan itu, akhirnya raja mengangkat Sunzi sebaga panglima tertinggi. Kearah barat, Sunzi memimpin pasukan mengalahkan kerajaan Chu, sedangkan di utara ia menimbulkan kegentaran pada negeri Qi dan Jin. Dengan segera Wu dapat menjadi negara yang disegani pada masa itu.
    Kitab Sunzi Binfa terdiri dari 13 bab ang masing-masing membahas tentang beberapa aspek keterangan, seperti perencanaan, menggerakkan peperangan, muslihat dan taktik dalam perang, penggunaan mata-mata, dan lain sebagainya. Sunzi mengajarkan pentingnya perencanaan sebagaimana yang dijabarkannya dalam bab I :
    Seni berperan sangat penting karena hal itu erupakan masalah hidup atau
matinya suatu negara, jalan yang menuntun pada keselamatan atau
kehancuran.

Perang adalah masalah krusial sehingga kita perlu merencanakannya secara matang. Perencanaan yang baik hanya dapat terlaksana bila kita mengenali kondisi diri sendiri dan musuh. Untuk mengenal kondisi diri sendiri dan musuh, Sunzi membabarkan pada kita daftar pertanyaan yang perlu kita cermati sebelum merencanakan peperangan :
1. pihak manakah yang mendasarkan segenap tindakannya pada hukum
    moralitas?
2. pihak manakah yang pemimpinnya memiliki kemampuan lebih?
3. pihak manakah yang memperoleh keuntungan langit dan bumi? Maksud    
    langit dan bumi adalah dukungan medan serta cuaca.
4. pihak manakah yang menerapkan disiplin lebih tepat?
5. pihak manakah yang lebih kuat?
6. pihak manakah yang para perwira dan prajuritnya terlatih lebih baik?
7. pihak manakah yang memberlakukan pemberian hukuman dan hadiah
    secara lebih baik?

Sunzi mengatakan bahwa dengan mempertimbangkan itu di atas dapat diperkirakan pihak mana yang akan mencapai kemenangan. Ia menambahkan lagi:
Panglima yang akan memenangkan pertempuran adalah yang membuat perencanaan dalam kemahnya sebelum dilangsungkannya peperangan. Pimpinan pasukan yang kalah alam suatu peperanga adalah karena kurangnya membuat perencanaan.

    Nasehat diatas tidak hanya relevan dalam peperangan saja, melainkan juga dalam dunia bisnis dan manejemen modern. Segala sesuatu memang memerlukan perencanaan yang matang meskipun kitabnya membahas tentang seni berperang, namun sesungguhnya Sunzi sendiri lebih menghargai peramaian :
    Oleh karena itu, mereka yang lahir dalam seni berperang menunjukkan pasukan musuh tanpa berperang merebut kota musuh tanpa pengepungan, serta menghancurkan negara musuh     tanpa memerlukan waktu yang berlarut-larut. Anda hendakny dapat merebut kemenangan secara utuh, yakni dengan tanpa menumpahkan darah. Inilah yng dinamakan seni menyerang dengan siasat.

Berdasarkan kutipan diatas, Sunzi lebih menghargai kemenangan yang diperoleh tanpa pertumpahan darah. Sejarah membuktikan bahwa kemenangan tidak hanya diperoleh melalui peperangan saja melainkan juga dengan melalui meja perundingan atau diplomasi. Iniah salah satu kelebihan filsafat Sunzi dibandingkan dengan ahli strategi militer dunia lainnya. Suni juga mengajarkan bahwa prajurit musuh yang sudah menyerang hendaknya diperlakukan dengan baik:
Perlakukanlah dan peliharalah dengan baik prajurit musuh yang berhasil ditawan .

Ini memperlihatkan nilai kemanusiaan yang besar dalam filsafat perang Sunzi. Pihak musuh yang ditawan hendaknya diperlakukan dengan baik dan tidak di siksa.
Kitab Seni Perang Sunzi ini dilestarikan oleh keturunannya yang bernama Sun Bin. Ini adalah panglima perang negeri Wei, salah satu diantara ngara terkuat selama ini masa perang antar negeri. Pang Juan, panglima perang Wei, sangat iri dengan kecerdikan Sun Bin dan merencanakan untuk menyingkirkannya. Ia memalsu sepucuk surat, yang isinya seolah-olah menyatakan bahwa Sun Bin hendak membelot ke negara asalnya, Qi. Selanjutnya, ia meyakinkan sang raja bahwa Sun Bin memang benar-benar hendak berkhianat. Raja mempercayai hal itu dan menyerahkan Sun Bin padanya untuk dihukum. Tetapi, Pang Juan masih memiliki niat lain, ia ingin agar Sun Bin menuliskan kembali kitab Seni Perang itu baginya. Untuk itulah, Pang Juan pura-pura besikap baik pada Sun Bin. Ia pura-pura terkejut atas penangkapa Sun Bin dan berjanji untuk memohon pada raja agar tidak menjatuhka hukuman mati. Atas bujukan Pang Juan, hukuman mati diganti dengan pencungkilan tempurung lutut dan selain itu, wajah Sun Bin di tato dengan tulisan : “penghianat“. Sun Bin merasa berhutang nyawa kepada Pang Juan dan setuju untuk menuliskan kembali kitab tulisan leluhurnya itu. Tetapi, seorang pelayan merasa iba pada Sun Bin dan membocorkan seluruh perbuatan dan niat jahat Pang Juan. Oleh karena itu, Sun Bin berpura-pura gila sehingga Pang Juan memasukkannya ke kandang babi. Akhirnya, Sun Bin berhasil di selundupkan ke negeri Qi oleh seorang utusan yang berpura-pura mengirimkan upeti berupa teh. Raja negeri Qi menawarkan jabatan pada Sun Bin yang ditampiknya dengan mengatakan bahwa ia akan mengabdi bila saatnya tiba.
Beberapa tahun kemudian, barulah sun bin bersedia mengabdi pada negeri Qi. Kala itu, Wei mengirim Pang Juan untuk menyerbu negeri Zhao. Pihak Zhao lalu meminta tolong pada Qi. Sun Bin ternyata tidak menghadapi serbuan pang Juan secara langsung, melainkan mengalihkan perhatian dengan menyerang ibu kota Wei yang dilanjutkan dengan penghadangan terhadap rute perjalanan pulang pasukan Pang Juan. Raja wei dengan segera memanggil pulang Pang Juan untuk mempertahankan ibu kota terhadap serangan pasukan Qi yang dipimpin Sun Bin. Pasukan Wei sejumlah 20.000 orang jatuh ke dalam perangkap ini dan Pang Juan nyaris tidak dapat meloloskan diri.
Akhir hidup Pang Juan di tangan Sun Bin baru terjadi beberapa tahun kemudian, saat Qi menyerang Wei untuk membantu negara tetangga lainnya. Sun Bin berusaha menjebak pasukan Wei yang dipimpin oleh Pang Juan dengan berpura-pura kalah. Pang juan terpancing jebakan itu dengan terus mengejar mereka hingga ke lembah Malingdao yang sempit. Kala itu, hari telah malam dan pasukan Wei dilanda keletihan dan kelaparan yang parah tetapi Pang Juan memerintahkan mereka untuk terus maju. Tiba-tiba, tampaklah sehelai kain putih tergantung pada sebatang pohon dan Pang Juan mendekat untuk menyelidiki. Begitu membacanya, Pang Juan merasa sangat ketakutan, karena ternyata kain itu bertuliskan, “Pang Juan mati di tempat ini atas perintah Sun Bin “. Dengan segera diperintahkannya pasukan wei untuk mundur, tetapi semuanya telah terlambat. Terjadilah hujan anak panah yang berasal dari kedua sisi lembah, sehingga mengakibatkan Pang juan beserta pasukannya tewas atau terluka parah. Menyadarai bahwa akhir hidupnya sudah dekat Pang Juan bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri.
.
   



BAB 3. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
    Filsafat cina sebagai suatu bagian dari tiga Filsafat yang berpengaruh di dunia selain Filsafat Barat dan Filsafat India, merupakan suatu Filsafat tersendiri dengan berbagai metode, corak, kecenderungan dan berbagai kekhususan yang dimilikinya, bahkan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya .
Akan tetapi terlepas dari semua itu, Filsafat cina merupakan suatu Filsafat yang tidak bisa di pandang sebelah mata, karena pada perkembangan dunia timur seperti Cina dan negara-negara yang terletak tidak jauh darinya, seperti Jepang, Hongkong, Korea dan negara timur lain pada masa kini, mempunyai corak, ciri khas dan juga bahkan mulai berpengaruh terhadap bangsa lain, yang pada perkembangan sejarahnya tidak dapat terlepas dari perkembangan budaya maupun keilmuan dan kefilsafatan pada masa dahulu.
Cina saat ini merupakan suatu kekuatan yang dipertimbangkan di dunia pada umumnya. Dalam berbagai aspek kehidupan mulai pendidikan, teknologi, ekonomi, kekuatan militer sampai pada life style, Cina memiliki ciri dan tren tersendiri yang tidak secara serta merta mengadopsi dari Barat seutuhnya, akan tetapi Cina dengan segala yang dimiliki mempunyai kelebihan yang patut kita ambil sisi positifnya.


DAFTAR PUSTAKA


Tani, Putera. 2008. History Of China. Ar- Ruzz Media: Jogjakarta.
Rachmat, S. 2012.Sejarah dan Tokoh Filsafat China. [seral online].                http://BarisanPinggiran.blogspot.com. [30 September 2013].
Dirgaprimawan, Bernandus. 2007. Asal Mula Filsafat China. [serial online]. http://imajinasi.wordpress.com. [30 September 2013]







   
   


   



1 komentar: