Senin, 02 Desember 2013

sejarah brunei

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu hal yang amat penting dalam kehidupan manusia di dunia. Sejarah selalu menyediakan sumber rujukan terbaik demi kebaikan hidup manusia menuju masa depan. Dalam perkembangannya sejarah mampu menjadi sumber untuk mengkaji dan menganalisis perkembangan yang akan terjadi selanjutnya.
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang terletak di Asia Tenggara. Letaknya di bagian utara Pulau Borneo/Kalimantan dan berbatasan dengan Malaysia. Brunei terdiri dari dua bagian yang dipisahkan di daratan oleh Malaysia. Negara ini terkenal dengan kemakmurannya dan ketegasan dalam melaksanakan syariat Islam, baik dalam bidang pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat. Namun sebelum berdiri kerajaan islam, Brunai Darussalam dipinpim oleh kerajaan yang dikenal dengan zaman pra kesultanan.
Sejarah Brunai Darussalam sebelum kedatangan bangsa Eropa juga tak kalah menarik untuk dikaji. Pada zaman ini Brunei merupakan sebuah kerajaan yang sangat besar. Kerajaan- kerajaan yang berdiri di kawasan Brunei Darussalam dapat dibagi menjadi dua, yakni kerajaan pra kesultanan (pra islam) dan kerajaan pada era kesultanan (era islam). Wilayahnya mencakup bagian utara Kalimantan hingga Filipina bagian selatan. Brunei tumbuh sebagai kerajaan yang sangat kuat dan mengalami kejayaan pada abad ke 14 hingga abad ke 16. Namun merupakan suatu hal yang sudah lazim terjadi dalam sejarah perkembangan sebuah kerajaan bahwa di samping mencapai kejayaan juga akan mengalami kemunduran atau bahkan kehancuran. Demikian pula dengan kerajaan- kerajaan yang terdapat di Bruaai Drussalam juga terpecah belah atau bahkan lenyap dalam percaturan sejarah. Hal ini juga disebabkan karena adanya perebutan kekuasaan dan pemberontakan.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana letak geografis Brunei Darussalam?
2.    Bagaimana Penyebutan Istilah Brunei Darussalam?
3.    Bagaimana Periodisasi Sejarah Brunei Darussalam sebelum kedatangan bangsa barat?
4.    Bagaimana Kondisi Sosial Masyarakat Brunei Darussalam?

1.3    Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan, antara lain :
1.    Memahami letak geografis Brunei Darussalam
2.    Memahami asal usul Penyebutan Istilah Brunei Darussalam.
3.    Memahami Periodisasi Sejarah Brunai Darussalam sebelum kedatangan bangsa barat.
4.    Memahami kondisi Sosial masyarakat Brunei Darussalam.

1.4    Manfaat
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara I. Namun di samping hal tersebut, makalah ini agar dijadikan sumber ilmu pengetahuan, baik bagi penyusun ataupun pembaca pada umumnya.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1    Kondisi Geografis Brunei Darussalam
 
Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan timur. Luas : 5765 km.
2.2.  Asal Usul Penyebutan Brunei Darussalam
    Asal usul dari mana nama Brunei itu wujud masih belum jelas. Ada yang menyarankan ia terbit daripada perkataan Cina “Wan-Lai”. Satu pendapat pula mengatakan perkataan Brunei terbit daripada perkataan Sanskrit 'Varunai' yang membawa maksud sesuatu yang berhubung dengan laut, yang terbit dari perkataan varunadvipa yang melambangkan kawasan Pulau Kalimantan.
Catatan tradisi lisan yang diperolehi dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah setelah rombongan yang dipimpin oleh Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategik iaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali, untuk transportasi serta kaya dengan ikan sebagai sumber makanan, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang bererti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan.
Namun pada satu artikel yang saya dapati iaitu Assessing the epic status of the Brunei Malay Syair Awang Simawn, hasil kajian oleh Allen R Maxwell dari Universiti Alabama terhadap teks asal Syair Awang Semaun semasa berada di Brunei tiada pula catatan yang menyatakan bahawa nama Brunei itu berasal dari baru nah cuma yang di catatkan hanya Pateh Berbai yang menjumpainya saja.
Sejarah kerajaan Brunei dapat ditemukan pada  Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Catatan sejarah menyebutkan bahwa sejak abad ke VI peradaban Brunei sudah diketahui. Pada masa itu daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan para pelaut cina, arab dan india. Para pelaut yang didominasi oleh kaum pedagang tersebut biasanya singgah sejenak di pelabuhan Brunei  kemudian melanjutkan pelayaran ke daerah-daeran yang yang lain. Beberapa catatan sejarah menyebutkan tentang daerah yang kini dikenal sebagai Brunei ini dalam beberapa penyebutan atau yang lazim dikenal sebagai istilah. Dalam catatan sejarah Cina, Brunei dikenal dengan nama Po-li, Po-lo ataupun Pu-ni.
    Catatan sejarah Cina pada masa pemerintahan Dinasti Liang (502-566 SM) menyebutkan tentang suatu dareah bernama Po-li. Po-li disebut sebagai sebuah daerah yang berada disebelah tenggara Canton. Didalam buku Chui Tang Shu diriwayatkan bahwa sekitar tahun 630 M, Po-li telah mengirim utusan ke Cina. Nama po-li mulai tergantikan dengan penyebutan Po-lo pada pertengahan abad ke VII. Penyebutan Po-lo dimulai ketika Dinasti Tang menyebutkan bahwa jika melakukan perjalanan laut dari Chih-tu ke arah barat daya maka akan sampai disebuah daerah yang bernama Po-lo. Pada masa itu Raja po-lo bernama bernama Huan Wang telah mengirim utusan ke Cina. Memasuki abad ke X, Dinasti Sung yang berkuasa di Cina tidak lagi menggunakan nama Polo melainkan Pu-ni. Penyebutan Po-li, Po-lo, hingga Pu-ni dapat dikatakan sebagai masa kerajaan Brunei Tua.
Dalam catatan sejarah Arab, Brunei disebut dengan nama Zabaj atau Randj. Sedangkan para pelaut (pedagang) Arab menyebut “Laut Brunei” untuk perairan yang kini kita kenal dengan nama Laut Cina Selatan.
    Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan.
Sumber-sumber dari berbagai bangsa yang meriwayatkan Brunei amat beragam. Tak hanya soal nama, melainkan juga dalam hal ejaan seperti “Buruneng” dalam Negarakertagama, “Bornei”, “Borneu”, “Burney”, “Bruneo”, dan Burne”, dalam Europen Sources for the History of the Sultanate of Brunei in Sixteenth Century, serta “Bornui” menurut Sidi Ali bin Husin, dan “Burni” dalam The Philipine Island. Kemudian lama kelamaan, padafase Islam, nama-nama itu berubah menjadi Brunei.
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agamaHindu-Buddha pada suatu masa dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika batu nisan P'u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaligh Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan Brunei.
Islam mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M. Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan / pancir dari Cucu Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan / Syaidina Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.


2.3    Periodisasi Kerajaan di Brunei Darussalam
Kerajaan-kerajaan yang berdiri di kawasan Brunei Darussalam sebelum kedatangan bangsa barat dapat dibagi menjadi dua periode:

2.3.1 Brunei Darussalam Era Pra-Kesultanan
Sejarah Brunei sebelum era kesultanan tidak banyak diketahui. Hal initerjadi mengingat minimnya informasi dan bukti-bukti sejarah yang menceritakanterkait masalah kehidupan dan kondisi pemerintahan di Brunei saat itu. Banyak ahli sejarah yang menyakini bahwa sebelum era kesultanan yang ada saat ini,Brunei telah memiliki suatu sistem pemerintahan tersendiri.

a.     Kerajaan Vijayapura
    Keyakinan ini didasari oleh berbagai sumber dari kerajaan China dan Nusantara yang menyebutkan bahwa pada masa itu telah ada sebuah kerajaan yang mengelola kawasan Brunei darusalam. Sumber dari kerajaan Sriwijaya menyebutkan  bahwa pada abad ke 7  di bagian barat laut Kalimantan terdapat sebuah kerajaan yang bernama Vijayapura. Kerajaan Vijayapura ini berhasil ditaklukkan di bawah kekuasaan kerajaan sriwijaya yang berlokasi di pulau Sumatra. Namun bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerajaan tersebut berada dibawah pengaruh kerajaan China, hal ini dapat dilihat dari penemuan koin logam yang terbit pada abad ketujuh disekitar Brunei.


b.    Kerajaan Po-ni
Referensi terkait dengan kehidupan kerajaan ini masih sangatterbatas sehingga tidak banyak diketahui bagaimana kinerjanya. Jika ditinjau dariaspek nama, kerajaan tersebut bercorak Hindu dan mirip dengan sebuah daerah yang ada di India. Namun seberapa kuat pengaruhnya saat itu belum diketahui.Sumber kuno lain menyebutkan bahwa pada abad ke-10, kawasan tersebutdikuasai oleh sebuah kerajaan yang bernama Po-ni. Kerajaan Po-ni ini telahmelakukan kontak dengan Dinasti Song yang ada di China dan beberapa kali melakukan hubungan dagang dengan Dinasti Song. Teks sejarah dari DinastiSong dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerajaan Po-ni sangat dipengaruhioleh peradaban Hindu seperti yang ditularkan oleh kerajaan Hindu yang terletak di pulau Jawa dan Sumatera. Sistem penulisan yang digunakan menganut naskahHindu Jawa dan Sumatera, bukan Hindu India. Ini menunjukkan bahwa kerajaanPo-ni tidak memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan India.
Selanjutnya, dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 menyebutkan bahwa kerajaan tersebut takluk dibawah kerajaan Majapahit. Dalam versi Negarakertagama, kerajaan yang ditaklukkan oleh Majapahit tersebut bernama Berune. Namun diperkirakan bahwa penaklukan yangdilakukan oleh Majapahit tersebut tidak lebih dari hubungan simbolis. Disebutkan bahwa setiap tahunnya, kerajaan Berune mengirimkan minuman yang terbuat dari buah pinang sebagai upeti kepada kerajaan Majapahit. Hubungan kerajaan Po-ni dengan kawasan lain juga semakin berkembang. Pada tahun 1370-an, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Dinasti Ming yang ada di China. Hubungan kedua kerajaan diperkirakan sangat akrab, hal ini diperlihatkan dengan adanya kunjungan penguasa Po-ni, Ma-na-jih-chia-na ke ibukota Nanjing pada tahun 1408 dan meninggal dunia disana. Sejak saat itu kehidupan kerajaan Po-ni tidak banyak diketahui karena pada tahun 1424, Kaisar Hongxi dari Dinasti Ming menghentikan program maritimnya sehingga sejak saat itu tidak ada lagi catatan terkait kerajaan Po-ni.


2.3.2    Brunei Darussalam Era-Kesultanan
Diceritakan bahwa menjelang kehancuran Dinasti Yuan, China mengalamikekacauan yang sangat parah. Kondisi ini memaksa banyak orang China melarikan diri. Orang-orang yang tinggal di sepanjang pesisir Fujian juga turutmelarikan diri dengan dipimpin oleh Ong Sum Ping. Mereka melarikan diri kearah timur Kalimantan dan masuk ke salah satu sungai disana. Saat itu sempatterjadi kecelakaan yang membuat salah seorang anggota kehilangan lengannya. Konon, orang-orang Melayu yang tinggal disekitar sungai melihatnya danakhirnya menamai sungai tersebut dengan nama Kinabatangan karena menjadi lokasi hilangnya lengan salah seorang anggota tersebut.
    Ong Sum Ping dan para pelarian lainnya mulai mendirikan pemukimandan membangun di sekitar sungai Kinabatangan. Ternyata pembangunan yangdilakukan oleh Ong Sum Ping memiliki dampak yang sangat besar bagi kehidupan disana. Kawasan tersebut mengalami peningkatan kemakmuran dankesejahteraan. Kondisi ini membuat Ong Sum Ping diangkat sebagai pemimpin di kawasan tersebut. Orang Melayu memberinya gelar sebagai Raja sedangkan orang China memberinya gelar “Chung Ping” yang berarti Jenderal.

a.    Sultan Muhammad Shah
Kawasan tersebut awalnya dikuasai oleh Kesultanan Brunei, namunkarena adanya invasi dari Kesultanan Sulu, kawasan tersebut menjadi tidak terurus. Kekuasaan Kesultanan Brunei pun hanya terbatas pada bagian utara Kinabatangan, sementara kawasan lainnya tidak dapat dikontrol karena adanya perebutan kekuasaan diantara sesama penduduk melayu lokal. Keberhasilan Ong Sum Ping tersebut membuat Sultan Brunei, Muhammad Shah yang saat itu baru naik tahta menjadi tertarik untuk menyatukan kekuasaan dengan Ong Ping.
    Penyatuan kekuasaan tersebut ditandai dengan pernikahan antara Putri Sultan dengan Ong Sum Ping. Pernikahan tersebut membuat Ong Sum Ping mendapat gelar Maharaja Lela. Selain itu, Muhammad Shah juga menikahkan saudaranya, Sultan Ahmad dengan adik perempuan Ong Sum Ping yang kemudian mendapat gelar Putri Kinabatangan. Kedua pernikahan ini memberikandampak yang luar biasa bagi perkembangan Kesultanan Brunei.Dengan bantuan Ong Sum Ping dan militer China, Kesultanan Brunei berhasil mengusir invasi dari Kesultanan Sulu dan terhindar dari kehancuran total.

b.    Sultan Abdul Majid Hassan dan Sultan Ahmad
Pada tahun 1402, Sultan Muhammad Shah meninggal dunia dandigantikan oleh anaknya, Sultan Abdul Majid Hassan. Adapun Ong Sum Pingdiangkat sebagai Bupati. Namun pemerintahan Abdul Majid Hassan ternyata tidak  berlangsung lama. Pada tahun 1406, Sultan Abdul Majid Hassan meninggal dunia.Pasca kepergiannnya, Brunei mengalami kebuntuan politik dan vacum of power  selama dua tahun. Pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan diantara para bangsawan dan dimenangi oleh Sultan Ahmad, saudara Sultan Muhammad Shah yang juga adik ipar Ong Sum Ping.Pada masa ini, Ong Sum Ping telah memasuki usia lanjut. Dia mengirimkan seorang diplomat dan dikawal oleh pasukan menuju ke China untuk memberitahu kepada Kaisar Yong Le dari Dinasti Ming tentang kondisi Brunei dan rencana kepulangan Ong Sum Ping ke China. Kaisar Yong Le senang dan melakukan penyambutan besar atas kedatangannya. Ong Sum Ping akhirnyameninggal dunia dan dimakamkan di China. Kekuasaan Ong Sum Ping di Brunei dilanjutkan oleh anaknya, Awang. Dia berhasil menjalankan kekuasaan politik dengan baik dan memiliki legitimasi yang kuat karena membawa nama besar ayahnya. Cerita tentang Awang selanjutnya tidak banyak diketahui.
    Begitu besarnya peran Ong Sum Ping terhadap Brunei membuat banyak masyarakat Brunei yang mempercayai bahwa Ong Sum Ping merupakan salah satu pendiri Kesultanan Brunei. Namun pandangan tersebut tidak disepakati oleh kalangan Kesultanan karena Sultan menganut asas Melayu, Islam dan Beraja.Meskipun demikian, Kesultanan masih sangat menghormati Ong Sum Ping. Halini ditunjukkan dengan pemberian nama jalan Ong Sum Ping di Ibukota Bandar Seri Begawan dan pembuatan museum yang berisi artefak Ong Sum Ping.
c.    Sultan Syarif Ali
Kembali ke masalah Kesultanan. Sementara itu, Sultan Ahmad menikahkan putrinya dengan Sultan Syarif Ali, seorang pria yang berasal dariSemenanjung Arab dan masih termasuk kerabat Nabi Muhammad. Sultan Syarif Ali inilah yang akhirnya menjadi Sultan setelah Sultan Ahmad. Dibawah kepemimpinan Sultan Syarif Ali, Brunei mengalami kemajuanyang sangat baik. Kesultanan Brunei mulai melakukan ekspansi secara bertahapdan melakukan perluasan pengaruh ke beberapa negara. Kemajuan Bruneisemakin pesat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Sistem monopoli yang diterapkan oleh Portugis membuat sebagian besar  pedagang mengalihkan perdagangannya ke pelabuhan Brunei. Banyaknya P    edagang muslim yang masuk ke Brunei membuat pertumbuhan Islam di Brunei berlagsung dengan sangat cepat. Satu hal yang penting untuk dicatat adalah Kesultanan Brunei menganut sistem Thalassocracy, sebuah sistem dimana fungsi Kesultanan bukanlah untuk mengendalikan kepemilikan tanah tetapi mengendalikan perdagangan. Masyarakatmenganut sistem hierarkis dimana Sultan sebagai pucuk pemimpinnya. Kekuasaan Sultan terbatas dan diawasi oleh sebuah Dewan yang memiliki fungsimengatur dan mengadakan suksesi Sultan.

d.    Sultan Bolkiah
Kesultanan Brunei mengalami kejayaan pada masa Sultan Bolkiah. Padamasa ini kekuasaan Brunei semakin meluas dari Serawak, Sabah, Kepulauan Suluhingga ujung barat laut Kalimantan. Pengaruh Sultan juga menyebar hingga keFilipina dan memasukkan Teluk Manila kedalam koloninya. Selain itu Sultan jugamenjalin hubungan yang baik dengan Raja di Jawa dan Malaka. Kemakmuran inidinikmati oleh semua rakyat Brunei, hampir semua rakyat memiliki rumah kayuyang berdiri diatas air, sebuah simbol kehidupan megah pada masa itu.Pada tahun 1521, Antonio Pigafetta, seorang navigator dalam ekspedisiFerdinand Magellan menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Brunei.Dalam perjalanannya, Pigafetta menggambarkan Brunei sebagai sebuah kota yangsangat menakjubkan. Setiap tamu besar yang akan bertemu dengan Sultan selaludiantar menggunakan Gajah dengan tempat duduk yang berlapiskan kain sutra.Penduduk istana menggunakan pakaian yang terbuat dari kain sutera bersulamemas, dihiasi dengan mutiara dan memiliki banyak cincin dari batu mulia.Para pengunjung juga disuguh makanan menggunakan piring porselen,sebuah alat makan yang begitu megah pada masa itu. Istana sultan juga dikelilingioleh tembok batu bata yang dilengkapi oleh tiang kuningan dan meriam besi.
Erakemakmuran berlangsung hingga Sultan kesembilan yakni Sultan Hassan. Setelah berakhirnya kepemimpinan Sultan Hassan, Brunei kehilangan sosok pemimpin dan mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya adalah pengaruh kekuasaan Eropa yang begitu menonjol di daerah, banyaknya terjadi perebutan kekuasaan di antara kaum bangsawan, kemunduran sistem perdagangan tradisional, serta perpecahan di antara Kesultanan di Asia Tenggara.

2.4 Kondisi Sosial Masyarakat Brunei Darussalam
Sejauh ini gambaran sejarah yang ditemukan baru mengungkapkan adat kebiasaan orang Pu-ni (Brunei di masa dinasti ming, tahun 1368-1643 M ). Orang Pu-ni pada masa itu sering melakukan hubungan perniagaan ( pertukaran barang)  dengan negeri china. Disebutkan bahwa berlangsungnya perniagaan akan di mulai setelah kapal China berlabuh selama 3 hari,baru kemudian raja Pu-ni memulai menaksir harga tiap-tiap barang. Selama berunding masalah harga, raja Pu-ni akan menjamu para tamunya dengan beragam masakan. Setelah harga di tetapkan, maka dipukulah gong sebagai pertanda perdagangan di belum di mulai. Konon, jika harga barang belum di tetapkan, maka siapapun tidak di perbolehkan untuk memulai membeli. Barang siapa yang melanggar ketetapan tersebut maka akan di hukum mati , kecuali saudagar, hukumannya akan di ringankan.
    Ketika dinasti Ming berkuasa, beberapa barang perniagaan yang ditukarkan pada masa itu berupa tikar emas, tembikar, porselen, plumbun ( lead), barang perak, emas, kain sutera, kain kassa, dan kiap. Adapun barang-barang yang diperoleh dari Cina diantaranya berupa kapur barus, tanduk rusa, timah, gelang dari gading gajah, kulit kura-kura, sarang burung, wangi-wangian, kayu cendana, lilin lebah, dan rempah-rempah.
    Selain dengan Cina, kerajaan Pu-ni memiliki hubungan perdagangan dengan Kochin, Jawa, Singapura, Pahang, Terengganu, Klantan, serta negeri-negeri sekitar Siam.
    Adapun adat Kebiasaan orang Pu-ni di masa lalu juga terekam dalam jejak sejarah yang bercerita tentang kebiasaan orang Pu-ni dalam melangsungkan pemakaman. Pada masa itu, jika ada orang yang mati, maka mayatnya akan dimasukkan keranda yang dibuat dari buluh, kemudian dibawa ke hutan dan ditinggalkan begitu saja. Dua bulan kemudian, barulah pihak keluarga mulai bercocok tanam. Selain itu, orang-orang Pu-ni juga biasa mengadakan kenduri setiap tahun hingga tujuh tahun. Selama itu, mereka mengadakan jamuan, bersuka ria, menari dan menyanyi dengan diiringi gendang seruling dan bunyi-bunyian seperti gong, canang, tawak-tawak, dan guling tangan. Jamuan makanan diletakkan diatas daun yang kemudian mereka buang setelah makan.
Orang-orang Pu-ni juga mempunyai tradisi yang khas terutama dalam hal meracik obat luka yang dikenaldengan nama pokok. Obat luka itu berasal dari akar. Oleh orang Pu-ni, akar itu di goreng sampai hangus lalu abunya digosokkan ke bagian yang luka. Menurut riwayatnya, meski luka itu dapat menyebabkan kematian, namun mereka yakin bahwa luka itu tetap dapat disembuhkan dengan obat tersebut.
Dalam hal agama, beberapa penduduk Pu-ni menganut agama Budha. Walaupun menganut agama Buddha, namun mereka tidak memiliki arca. Tetapi, mereka membangun rumah Budha yang bertingkat-tingkat, dengan atap yang berbentuk menara. Sementara, di bawah menara terdapat dua buah rumah kecil berisi mutiara yang dinamakan Sen Fu (Sacred Budha). Pada saat hari Budha tiba, raja Pu-ni berangkat ke upacra untuk memuja bunga dan buah yang diadakan selama tiga hari bersama penduduk negeri itu.
Meskipun banyak penduduk Pu-ni menganut agama Budha terdapat segelintir orang yang sudah menganut agama Islam. Hal ini terbukti dengan ditemukannya makam-makam Islam serta beberapa orang muslim yang menjadi utusan Raja Pu-ni dalam melakukan pertukaran niaga ke Cina. Raja-raja Pu-ni sebelum tahun 1368 M disinyalir beragama Buddha, kecuali Raja Pu-ni yang bernama Ma-ha-mo-sha yang seorang muslim. Hal ini tersirat dari perbekalan yang diberikan oleh Raja Cina kepada Raja Pu-ni Ma-ha-mo-sha, berupa daging-daging yang bukan babi. Selain itu kata “Ma” dalam istilah Cina biasanya merujuk kepada orang Islam. Ma-ha-mo-sha inilah yang menjadi Raja Pu-ni semasa pemerintahan Hung-Wu dalam dinasti Ming, yang dalam sejarah Brunei tak lain adalah Sultan Muhammad Shah atau Sultan Brunei I. Di sinilah sesungguhnya pemerintahan Islam di kerajaan Brunei di mulai.

2.5 Proses Islamisasi Brunei Darussalam
    Sebagian sejarawan berbeda pendapat tentang sejarah awal masuknyaIslam di Brunei Darussalam. Azyumardi Azra menulis bahwa sejak tahun 977 H.kerajaan Borneo (Brunei) telah rnengutus P'u Ali ke Istana China. P’u Ali yangdimaksud adalah pedagang muslim yang nama sebenarnya adalah Abu 'Ali. Padatahun yang sama, diutus lagi tiga duta ke Istana Sung, salah seorang di antaranyabernama Abu Abdullah. Versi lain mengatakan bahwa sekitar abad ke-7pedagang Arab yang sekaligus sebagai pendakwah penyebar Islam telah datang ke Brunei. Kedatangan Islam di Brunei melegitimasikan bagi rakyat Brunei untuk menikmati Islam yang tersusun dari adat. Maksudnya, adat dan atau tradisi yangtelah menjadi anutan masyarakat tetap dijalankan selama dapat memperkayakhzanah keislaman. Berbeda dengan dua versi di atas, dalam Ensiklopedi Oxforddikemukakan bahwa orang Melayu Brunei menerima Islam pada abad ke- 14atau ke-15 setelah pemimpin mereka diangkat manjadi Sultan Johor.
Dariketerangan di atas didapatkan paling tidak ada tiga versi awal mula masuknyaIslam di Brunei Darussalam yang tentunya memiliki alasan dan bukti yang kuatdalam menentukan masuknya Islam di negara tersebut. Hal ini menunjukkanbahwa bukan hanya di Indonesia didapatkan beberapa versi tentang masuknyaIslam tetapi juga Brunei. Untuksementara dapat disimpulkan bahwa kemungkinanbesar semua negara Asean dan khususnya negara serumpun Melayu terdapat versiyang berbeda tentang waktu yang pasti masuknya Islam di wilayah tersebut.
Diduga kuat pula bahwa Islam masuk ke Brunei dengan pola top down. Maksudnya penerimaan Islam dimulai dari masyarakat elit, penguasa kerajaan,kemudian disosialisasikan dan berkembang ke masyarakat bawah. Di samping teori top down, juga ada yang disebut botom up, yakni Islam diterima terlebihdahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima olehmasyarakat lapisan atas, atau elite penguasa kerajaan.
    Dengan pola top down ini, maka agama Islam dapat dengan cepatberkembang karena Islam terlebih dahulu telah dianut oleh raja. Raja bagi rakyat adalah penguasa yang harus ditaati. Dengan pola-pola itu, Islam memungkinkanlebih cepat diterima dan berkembang. Pola ini juga terjadi dalam penerimaanIslam di Nusantara sehingga Islam dengan begitu cepat diterima oleh masyarakatsaat itu.
P.O.K Aman Diraja Dato Sri Utama mengatakan bahwa Bruneimengalami proses islamisasi ketika kerajaannya telah berdiri tidak jauh berbedadengan Pattani atau Malaka. Tidak saja melihat ke pedalaman, tetapi jugaseberang lautan, dalam menjalankan peranannya sebagai“jembatan penyeberangan” Islam. Keluarga kerajaan Brunei mendirikan suatuorganisasi kekuasaan supredesa di Teluk Manila (Luzon). "Kesultanan" yang barupada tahap pertumbuhan inilah yang dihadapi oleh Spanyol ketika merekamendarat di Manila pada tahun 1570.
 Sebagai agama resmi negara, Islam mendapatkan dukungan yang sangatkuat dari penguasa dalam hal pihak kerajaan. Dominasi keluarga kerajaan dibidang pemerintahan memungkinkan pemerintah memberlakukan kebijakan dibidang agama dan umum lainnya tanpa banyak hambatan. Dan seperti dikatakansebelumnya bahwa Brunei sangat berhati-hati terhadap pengaruh dari dunia luar,dan kekuasaan penuh ada pada raja sehingga kondisi sebagai masyarakat feodaltradisional ini akan tetap bertahan.
    Meskipun sejak akhir abad akhir abad ke19 sampai abad ke-20, terlihatperkembangan kehidupan keagamaan pada masyarakat Brunei yang sangatsignifikan, baik pada tingkat kelembagaan maupun penerapan konsep-konsepreformasi. Tetapi status dan institusi-institusi Islam di Brunei tetap mencerminkantradisi yang umumnya juga menjadi tradisi kesultanan di Semenanjung Melayu.Dalam kurun abad tersebut tidak tampak adanya gerakan atau peristiwa pentingyang dapat merongrong agama. Brunei tidak tersentuh kontravesrsi keagamaanyang kadang - kadang terjadi di kawasan ini. Ketika Inggris datang pada masa itu,sebagian masyarakat Islam Brunei menghormati Inggris sebagai penyelamatnegara mereka. Di sinlah kelihatan keunikan kehidupan beragama di Brunei dan Islamberkembang tanpa hambatan yang berarti. Masyarakat sangat taat kepada Raja dan paham keagamaanpun negara yang menentukan yaitu mazhab Syafi.

BAB 3. PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.    Letak Geografis Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan timur. Luas : 5765 km.
2.    Asal usul dari mana nama Brunei itu wujud masih belum jelas. Ada yang menyarankan ia terbit daripada perkataan Cina “Wan-Lai”. Satu pendapat pula mengatakan perkataan Brunei terbit daripada perkataan Sanskrit 'Varunai' yang membawa maksud sesuatu yang berhubung dengan laut, yang terbit dari perkataan varunadvipa yang melambangkan kawasan Pulau Kalimantan.
3.    Periodeisasi Brunei Darfussalam Sebelum Kedatangan Bangsa Barat adalah :
A.    Pra- Era Kesultanan
B.    Era Kesultanan
4.    Sejauh ini gambaran sejarah yang ditemukan baru mengungkapkan adat kebiasaan orang Pu-ni (Brunei di masa dinasti ming, tahun 1368-1643 M ). Orang Pu-ni pada masa itu sering melakukan hubungan perniagaan ( pertukaran barang)  dengan negeri china



DAFTAR PUSTAKA

1.    Atiyah, Jeremy. 2002. Rough guide to Southeast Asia. Rough Guide.
2.    Frankham, Steve. 2008. Footprint Borneo. Footprint Guides.
3.    Hussainmiya, B.A. (1995) Sultan Omar Ali Saifuddin III and Britain: The Making of Brunei Darussalam. Kuala Lumpur: Oxford University Press
4.    Hussainmiya, B.A. (2006) Brunei: Revival of 1906: A Popular History. Bandar Seri Begawan: Brunei Press Sdn. Bhd.
5.    Saunders, Graham E. 2002. A history of Brunei. Routledge.

dinasti SHUI

A.    Dinasti Sui (581-618)
1.    Berdirinya dan Berkembangnya Dinasti Sui
Persatuan China baru dapat dipulihkan dibawah pemerintahan Dinasti Sui (581-618) yang didirikan oleh Yang Jian dengan gelarnya Sui Wendi (581-604). Ia adalah tokoh yang berjasa mengakhiri kekacauan zaman Dinasti Utara-Selatan. Sebagai seorang penguasa, prestasinya bisa dibilang luar biasa, karena dapat mengakhiri zaman kacau yang telah berlangsung selama beberapa ratus tahun. Meskipun demikian, masa kekuasaan Dinasti Sui boleh dibilang tergolong singkat, yakni hanya 37 tahun.
Setelah mendirikan Dinasti Sui, agar dapat menjadi penguasa tunggal seluruh China, Yang Jian masih harus menaklukkan kerajaan Chen yang berkuasa di selatan. Chen Shubao, raja terakhir kerajaan ini merupakan penguasa yang lemah dan hanya mementingkan dirinya semata. Selain itu, ia juga seseorang yang gila wanita, bahkan pada saat menerima laporan dari para menterinya, ia membiarkan selir kesayangannya  duduk dipangkuanya.
Yang Jian menyadari kelemahan penguasa Chen serta memutuskan untuk menyerangnya, ia mengutus Jenderal He Nuobi untuk memimpin kampanye penaklukkan k selatan. Ternyata tepian selatan sungai Yangzi yang menjadi tapal batas antara kedua kerajaan dilindungi oleh banyak benteng. Jenderal He menghindari bentrokan langsung dan hanya menempatkan pasukannya secara tersebar pada tepian utara sungai Yengzi, serangan secara langsung sengaja tidak dilakukan, Jenderal He memindahkan atau menggerakkan pasukanya kesana-kemari saja.
Pihak Chen yang menyaksikan manuver besar-besaran ini dan mengira bahwa akan terjadi serangan dari pihak Sui, mereka segera menyiagakan pasukannya. Akan tetapi, pasukan Sui tidak melancarkan serangan sama sekali sehingga para panglima Chen menyimpulkan bahwa itu hanya manuver rutin dari pihak Sui semata, karen menunggu serangan dari musuh yang tak kunjung tiba, pasukan Chen merasa jemu dan mengundurkan kewaspadaan mereka. Akhirnya, pada saat tahun baru imlek 589, tatkala Kaisar Chen Shubao mabuk dan terelap setelah bersenang-senang pada malam harinya, Jenderal He memimpin pasukannya menyebrangi sungai Yangzi serta menyerbu ibukota Kerajaan Chen (Nanjing). Ketika menyadari bahwa dirinya telah terkepung, Chen Shubao membawa selir kesayangan dan seorang istri yang masih muda untuk bersama-sama dengannya menyeburkan diri ke sebuah sumur, sumur itu ternyata terlalu dangkal untuk merenggut nyawa mereka. Kaisar dan selir beserta istrinya berhasil ditemukan musuh dan ditarik keluar. Para selir dan istri dihukum mati dan Chen dijadikan tawanan. Berakhir sudah kekuasaan Dinastu Chen di selatan. Yang Jian kini menjadi penguasa tunggal seluruh China.
Untuk membantunya dalam pemerintahan Yang Jian menunjuk menteri-menteri yang pandai serta berusaha untuk meningkatkan hasil pertanian. Karena sejak lama telah mengabdi pada Kerajaan Zhou Utara, Yang Jian memiliki banyak pengalaman politik dan administrasi pemerintahan, sehingga menghasil pengusaha yang cakap. Istana dan ibukotanya yang terletak di Changan dibangun atas dasar pandangan kosmologis tradisional sebagai lambang nyata kekuasaannya. Para ahli dan arsitek ternama bersama-sama merancang aneka kemewahan dan keajaiban yang terdapat pada istana kerajaan, seperti wisma tamu yang dapat menampung beberapa ratus orang serta dapat diputar dengan menggunakan sistem mekanis yang terdapat dibawahnya. Para tamu asing menyatakann dengan penuh kekaguman bahwa hasil karya itubagaikan pekerjaan para dewa, dan kaisar merasa senang mendengarnya.
Tugas yang paling mendesak adalah pemulihan perdamaian dalam negeri dengan jalan menghapuskan seluruh tentara pribadi yang dimiliki para penguasa lokal, dimana tentara pribadi itu berpotensi mengancam persatua negara. Ia memrintahkan mereka untuk menyerahkn senjatanyadan menjadikan mereka sebagai petani. Selain itu, dalam bidang kemiliteran Kaisar Sui Wendi mengorganisasikan kembali tentara kerajaan dan menempatkan mereka dibawah pengendalian yang ketat.
Kaisar Wendi merupakan seorang yang relatif sederhana dan menjauhkan diri dari kemewahan. Bahkan boleh dikatakan bahwa ia cenderung kikir, ia menjatah kosmetika para wanita istana. Kaisar merupaka seorang yang senantiasa menaruh curiga pada musuh-musuhnya, tetapi sangat mempercayai kawan-kawan lamanya. Lebih jauh lagi Kaisar Wendi merupakan seseorang yang mudah marah dan pernah memukuli seorang pejabat sampai mati. Mesipun secara resmi menganut Konfusianisme, namun sama seperti Liu Bang, ia sangat memandang rendah para sarjana. Pernah suatu ketika ia memaki mereka dengan sebutan “kutu buku” karena telah memaksanya untuk membantai sisa-sisa bangsawan Zhou Utara. Ada pula sumber yang mengatakan bahwa meskipun pada awalnya Wendi merupakan kaisar yang bijak, tetapi pada akhir pemerintahannya ia berubah menjadi tiran yang kejam dengan menjatuhkan hukuman melampaui batas, sehingga banyak orang mencelanya.
B.    Runtuhnya Dinasti Sui
Kaisar Sui Wendi memiliki dua orang putra, putra bungsunya yang bernama Yang Guang sangat pandai bermain muka demi mengambil hati ayahnya, sehingga kakaknya yang telah dijadikan putra mahkota dipecat dan digantikan olehnya. Ketika kaisar sakit keras, Yang Guang bersekongkol dengan seorang perdana menteri untuk menggulingkan ayahnya itu. Namun, karena suatu kecerobohan surat yang ditulis perdana menteri jatuh ke tangan kaisar, sehingga ia akhirnya mengetahui persekongkolan ini, kaisar menjadi amat murka terhadap putra mahkotanya itu, terlebih lagi Yang Guang berani berselingkuh dengan seorang selir yang dicintainya, ia lalu memanggil putranya itu, tetapi Yang Guang bertindak lebih cepat dengan membunuh ayahnya terlebih dahulu. Yang Guang kemudian naik tahta dengan Gelar Sui Yangdi (604-617).
Yang Guang bukanlah kaisar yang cakap, ia lebih mementingkan bersenang-senang ketimbang mengurus masalah kenegaraan. Dihabiskannya uang negara dengan membangun berbagai proyek yang sesungguhnya merupakan pemborosan belaka. Dengan mengabaikan protes para menterinya Yangdi memerintahkan pembangunan ibukota kedua Luoyang. Para pekerja paksa yang berjumlah 2.000.000 diperintahkan untuk membangun istana megah dan danau buatan di kota tersebut lengkap dengan tamannya yang memiliki luas 155 km2. Kala musim dingin tiba, pada pohon-pohon di taman tersebut digantungkan duan dan bunga-bungaan dari sutra.
Proyek Kasar Yangdi yang boleh dikatakan bermanfaat adalah penerusan pembangunan kanal penghubung antara wilayah utara-selatan yang telah dimulai oleh ayahnya. Terusan sepanjang kurang lebih 2000km tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu mahakarya Bangsa Tonghoa, karena dibangun sekitar 12 abad lebih dahulu dibandingkan pembangunan Terusan Suez oleh bangsa Barat. Meskipun demikian, pembangunannya mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi rakyat. Jadi serupa dengan pembangunan tembok besar oleh Kaisar Qin Shihuangdi. Setiap lelaki yang berusia 15 tahun keatas diwajibkan untuk turut menggali, barangsiapa yang berani menghindarkan diri dari pekerjaan ini akan dihukum berat. Bahkan orang yang sudah tua serta kaum wanita tidak luput dari kewajiban ini namun tugas mereka hanya mengurus makanan bagi kaum pekerja, sedangkan jumlah tentara yang mengawasi proyek ini adalah sekitar 50.000 orang.
Sebagaimana halnya dengan pembangunan tembok besar, pekerjaan ini teah menewaskan banyak orang. Meskipun demikian, terusan ini bermanfaat bagi rakyat, karena memperlancar hubungan perdagangan antara wilyah utara dan selatan. Setelah terusan ini jadi, kaisar melakukan pemborosan lainnya dengan membangun rombonga kapal pesiar yang disebut dengan Armada Naga. Kapal sang kaisar memiliki empat geadak. Terdapat sebuah ruangan yang diperuntukkan untuk menempatkan singgasana yang indah, sebuah istana kecil dan dua ruangan lagi yang masing-masing terletak di haluan dan buritan. Lebih jauh lagi, kaisar masih mengarahkan 5.000 orang laki-laki berpakaian sutra untuk menarik kapal itu. Diantara mereka masih terdapat rombongan gadis yang berjalan sambil menarik tali aneka warna. Masih belum puas dengan itu semua, Kaisar Yangdi mengumumkan sayembara yang isinya akan menghadiahkan 12meter kain sutra bagi siapa saja yang menanam sebatang pohon cemara di tepi terusan itu, dengan waktu yang singkat tepi terusan itu langsung dipenuhi oleh pohon cemara.
Kejatuhan Yangdi dipercepat oleh kegagalannya menaklukkan Korea, dimana hal tersebut sungguh menguras sumber daya negara. Pada masa akhir pemerintahannya Sungai Huanghe meluap yang mengakibatkan penderitaan dikalangan rakyat. Kesengsaraan yang kuar biasa itu menimbukan pemberontakan dimana-mana. Salah satu pemberontakan ini disebut dengan Pemberontakan Delapan Belas Raja Muda. Yangdi yang merasa ketakutan menghadapinya merikan diri ke ibukota selatan di Yangzhou. Salah seorang pemimpin pemberontakan itu yang bernama  Yuwen Huanzhi menghancurkan Yangzhou dan membunuh Sui Yangdi. Ia lalu mengangkat seorang kaisar lain, tetapi tak lama kemudian kaisar ini dibunuhnya pula dan mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar.
Li Yuan seorang tokoh militer dari utara menaklukkan ibukota Changan dan melawan pemerintahan baru itu. Setelah berhasil mengalahkan Yuwen Huanzhi, Li Yuan mengangkat seorang keturunan Dinasti Suia yang lain sebagai Kaisar Gongdi (617-618) dengan ia sendiri sebagai walinya. Tetapi setahun kemudian, diturunkannya kaisar itu dari tahta  dan mengangkat dirinya sebagai kaisar baru dengan gelar Tang Gaozong (618-626). Dengan demikian, berakhirlah Dinasti Sui digantikan dengan Dinasti Tang.
C.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Semasa Dinasti Sui
Mahakarya dan sumbangsih Dinasti Sui dalam bidang trasportasi adalah pembangunan terusan raksasa yang menghubungkan China bagian utara dan selatan. Terusan sepanjang 2.000km dimulai dari Hangzhou dibagian tenggara kekaisaran, menuju Yangzhou, ibukota selatan Dinasti Sui, dan selanjutnya ke Luayong. Dari sana terusan ini menyatu dengan Sungai Kuning dan Huai untuk selanjutnya mengalir ke arah timur laut menuju ke daerah Beijing. Terusan ini merupakan kemajuan dramatis dalam bidang transportasi, semenjak sistem jalan raya yang dikembangkan oleh Kaisar Qin Shihuangdi, karena mempelancar hubungan antara belahan utara dan selatan kekaisaran. Jadi meskipun pembangunannya menimbulakan banyak korban, tetapi pada akhirnya mendatangkan manfaat juga bagi rakyat.
D.    Perkembangan Bidang Keagamaan dan Filsafat Semasa Dinasti Sui
Kaisar Sui Wendi menyadari bahwa ajaran Buddhisme yang mengajarkan penyelamatan setiap orang tanpa memandang suku atau derajat seseorang merupakan alat pemersatu yang ampuh bagi kekaisarannya. Oleh karena itu, ia mendorong secara aktif penyebaran Buddhisme, 4.000 vihara telah didirikan dan lebih dari 100.000 patung telah dibuat semasa pemerintahannya.
Tokoh Buddhis termasyhur yang hidup pada masa ini adalah Zhiyi (538-597) pendiri aliran Tiantai yang hidup pada masa Dinasti Utara-Selatan dan awal Dinasti Sui. Biografi Zhiyi mencatat bebagai kisah kejaiban semasa kecilnya. Ibunya dikatakan mengandung Zhiyi setelah bermimpi menelan seekor tikus utih surgawi. Pada saat kelahirannya tampaklah cahaya ajaib menerangi langit. Pada usia tujuh tahun Zhiyi mengunjungi vihara dan mencengangkan para biarawan, karena ia sanggup menghafal kitab-kitab Buddhis meskipun baru sekali saja mendengarnya. Zhiyi kemudian berdiam di Gunung Tiantai dan menjadi guru disana. Kemasyhurannya tersebut tersebar luas kemana-mana sehingga kaisar Dinasti Chen menganugerahkan gunung itu dan daerah disekitarnya bagi Zhiyi dan pengikut-pengikutnya.
Zhiyi menekankan pengajarannya pada salah satu kitab Buddhis yang berjudul Saddharmapundarika Sutra (Miaofalianbuajing) atau Sutra Teratai. Ajarannya tercakup dalam tiga buah kitab yang masing-masing berjudul Miaofalianhuajing Xuanyi (Makna Menalam Sutra Teratai), Miaofalianhuajing Wenqu (Komentar Tekstual Terhadap Sutra Teratai), serta Mohezhiguan (Pemusatan Pikiran dan Kesadaran Agung). Tokoh lainnya adalah Dushun (557-640), yang merupakan pendiri atau sesepuh Aliran Huayan (Avatamsaka), suatu aliran Buddhisme yang mendasarkan pengajarannya pada naskah Buddhis berjudul Avatamsaka Sutra.
2.    Dinasti Tang (618-906)
a.    Berdirinya dan Berkembangnya Dinasti Tang
Pada awal dinasti Tang, perdamaian masih belum pulih sepenuhnya. Selama kurang lebih enam tahun berikutnya, negara masih dilanda kekacauan dan perang saudra. Lin Yuan dengan dibantu putranya, Li shimin, berjuang keras menegakkan kembali perdamaian serta ketertiban. Usaha keras ini akhirnya membuah hasil dan meletakkan dasar bagi kestabilan politik sepanjang sisa sejarah Dinasti Tang.
Li Yuan yang bergelar Gaozu adalah seorang yang berhati welas asih, ia menjamin kelangsungan hidup keluarga kaisar Dinasti Sui. Sebagai seorang penguasa, ia dapat di katakan memiliki integritas yang cukup baik, hanyan saja Li Shimin belakangan memanipulasi sejarah dan mengakuisi sebagian jasa-jasanya. Ia menggambarkan Li Yuan sebagai penguasa lemah yang hanya gemar bersenang-senang.
Pada tahun 626, ia turun tahta dan diganti dengan putranya (Li Shimin), yang bergelar Taizong (626-649). Di bawah pemerintahannya, China menjadi negara adikuasa. Dengan ditunjang dengan kecerdasannya dalam bidang politik yang memadukan kekuatan militer dan diplomasi, ia memecah belah suku-suku di sekitarnya sehingga tidak menjadi ancaman lagi bagi China. Di bawah kepemimpinannya, China tumbuh menjadi negara terkuat di Asia Utara. Ia menghancurkan sepenuhnya kekuatan suku-suku Turki Timur dan behasil menguasai daerah Ordos serta mongolia dalam. Kejayaan Dinasti Tang ini berakar pada etos kerja keras Kaisar Taizong dalam memajukan negerinya.
Semasa pemerintahannya, para pejabat istana harus bekerja siang dan malam secara bergiliran untuk menangani tugas-tugas yang masih terbengkalai. Kaisar sendiri menempelkan dokumen-dokumen penting pada dinding kamar tidurnya agar dapat membacanya saat malam hari. Karena memerhatikan kemakmuran rakyatnya,Taizong membatasi proyek-proyek raksasa yang menguras perbendaharaan negara, mengurangi pajak, serta meringankan kerja wajib bagi rakyat. Pendekatan humanistik semacam ini mengharumkan nama  Dinasti Tang melibihi Dinasti Hang.
Taizong merupakan seorang yang bersikap praktis dalam politik. Ia menjadikan Konfusianisme sebagai landasan pemerintahannya, namun juga menghormati Buddhisme dan Daoisme. Karena menyadari manfaat Konfuanisme dalam mencetak pejabat-pejabat yang andal, Taizong menyediakan beasiswa bagi mereka yang berhak belajar di akademi Konfusianisme negara. Sistem ujian negara diperbaikinya sebagai penjunjung tinggi konfusianisme, Kaisar menyelanggarakan upacara penghormatan nenek moyang di makam leluhurnya.
Pada masa pemerintahan Taizong, hubungan antara Timur dan Barat semakin berkembang serta Changan, ibukota Dinasti Tang, tumbuh menjadi kota terbesar serta termegah pada zamannya. Salah satu prestasi terkenal dalam bidang penjelajahan pada masa itu adalah perjalanan Biksu Xuanzang ke India untuk mengumpulkan kitab suci Tripitaka, dimana perjalanan ini mengemban semangat penjelajahan yang baru melanda bangsa barat sekitar 600 tahun kemudian. Rute perjalanannya mirip dengan rute Marco Polo, sehingga Xuanzang terkadang disebut sebagai “Marco Polonya China”.
Taizong juga tersohor sebagai seorang terpelajar serta terdidik dalam karya-karya klasik Konfusianisme. Untuk membantunya dalam pemerintahan, ia mengangkat menteri-menteri yang memiliki kapabilitas tinggi dan bersedia mendengarkan pendapat mereka. Kaisar juga merupakan seorang yang terbuka terhadap kritik. Dalam bidang seni, ia mengundang banyak seniman berbakat ke istananya. Bahkan ia sendiri tersohor sebagai seorang ahli kaligrafi terkemuka. Pernah suatu ketika, Yan Liben salah seorang pelukis kesayangan kaisar, terpaksa meninggalkan sarapannya saat diundang oleh kaisar untuk melukis seorang burung aneh yang kebetulan disaksikan oleh Taizong di danau.
Menjelang masa akhir pemerintahannya, Taizong menjadi lupa daratan. Setelah tahun 630, ia menjadi semakin sombong dan boros, urusan negara mulai diabaikan dengan mengadakan kegiatan pemburuan yang lama serta menghamburkan uang negara. Bertentangan dengan saran para penasihatnya, Taizong mulai mebangun proyek-proyek yang menghamburkan pembendaharaan negara, seperti istana megah yang kemudian dihancurkan kembali, karena lokasinya ternyata dirasa terlalu panas dan gaya arsitekturnya kurang disukai olehnya.
Penerus Taizong adalah kaisar-kaisar lemah. Berturut-turut China diperintah oleh Gaozong (649-683), Zhongzong (684, memerintah kembali 705-710), dan Ruizong (684-690, memerintah kembali 705-710). Kaisar Gaozong (Li Zhi) adalah seorang yang lemah secara fisik, sehingga sedikit demi sedikit kekuasaan jatuh ke tangan selir kesayangannya yang ambisius, bernama Wu Zetian (690-705), yang sebelumnya merupaka selir ayahnya. Wu menyingkirkan permaisuri Gaozong yang bermarga Wang, dengan cara membunuh bayi permpuan yang baru saja dilahirkannya, dan kemudian menuduhnya telah melakukan kejahatan itu. Wu lalu diangkat sebagai penggantinya. Begitu menjadi permaisuri, Wu mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan dan menyalahgunakan nama suaminya demi memperkuat kedudukannya sendiri. Diangkatnya para pejabat yang loyal padanya dan dengan kejam mebunuh mereka yang menetangnya. Ketika Gaozong terkena stroke pada tahun 660 dan mengalami kebutaan serta kelumpuhan, kekuasaan Wu semakin besar saja dan hingga kematiannya pada tahun 705, ia adalah sosok yang paling berkuasa di China.
Terlepas dari semua itu, Gaozong mewarisi negeri yang makmur dengan peningkatan taraf hidup rakyatnya serta administrasi pemerintahan yang baik hasil peninggalan ayahnya. Selama kurun waktu pemerintahannya yang relatif panjang itu, berlangsunglah masa damai didalam negeri. Sebaliknya Wu Zetian menerapkan politik ekspansif terhadap negara negara disekitarnya demi meluaskan wilayah kekuasaan Dinasti Tang, seperti mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Korea yang berlangsung antara 660-668. Namun, disamping politik ekspansif, Wu juga membina hubungan diplomatik dengan pihak asing, seperti bangsa Arab yang baru saja menaklukkan Kerajaan Sasania, dimana pada tahun 651, duta besar mereka untuk pertama kalinya tiba Changan.
Demi melanggengkan kekuasaan setelah suaminya wafat, Wu memanipulasi suksesi kekuasaan dengan meracuni Putra Mahkota Li Hong serta mengasingkan para pangeran lainya. Ia mengangkat putra ketiganya Li Zhe sebagai kaisar baru dengan gelar Zhongzhong (684) yang hanya sempat memerintah selama 6 minggu. Zhongzhong diturunkan dari tahta dan digantikan oleh adiknya yang bernama Li Dan (gelar Ruizong, memerintah 684-690). Jelas sekali bahwa ia adlah semata-mata kaisar boneka, karena tidak pernah hadir memimpin rapat-rapat kenegaraan. Perannya sebagai kaisar digantikan oleh Wu dan ia sesungguhnya hanyalah tahanan rumah di istananya sendiri. Pada tahun 690 Wu melakukan langkah terakhirnya dengan menurunkan Ruizong dari singgasana, mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar, serta menamai dinasti barunya dengan Dinasti Zhao.
Cerita singkat Dinasti Zhao yang dikaisari oleh Wu, ia melakukan langkah yang luar biasa demi mamajukan negerinya, yakni dengan mengumpulkan orang berbakat dari segenap penjuru negeri, terlepas dari latar belakang keluarga serta status sosialnya. Siapa saja yang berhasil lulus ujian negara akan diberi jabatan dalam pemerintahan. Dalam bidang pertanian, ia memberikan perhargaan bagi para pejabat yang berhasil mengolah tanah tak terpakai menjadi lahan pertanian dan menjadikan wilayahnya berkelimpahan bahan pangan. Sebaliknya bila gagal, mereka akan menerima hukuman. Sebagai alat propaganda Wu memanfaatkan Buddhisme dan Daoisme, ia menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Ibu Surgawi yang merupakan ibu Laozi, pendiri Daoisme, serta memerintahkan agar patungnya ditempatkan di tiap-tiap kuli Daois.
Namun sayang sekali, Wu akhirnya lupa daratan dan melakukan tindakan yng bertentangan dengan aturan moralitas yang berlaku pada zamannya, yakni dengan mengumpulkan selir-selir pria. Penyuapan dan korupsi marak dimana-mana, sehingga sang kaisar wanita kehilangan simpati rakyat. Pada tahun 705 setelah gagal menyelamatkan kekasih-kekasihnya dari pembantaian oleh para pegawai istana yang marah, dan akhirnya Wu sakit keras, lalu perdana menteri Zhang Jianzhi melakukan perebutan kekuasaan dan mengembalikan bekas Kaisar Zhongzhong ke singgasananya.
b.    Bangkitnya Kembali Dinasti Tang
Kaisar Zhongzhong kini memerintah untuk yang kedua kalinya (705-710). Dua puluh tahun masa pengasingan tidak meningkatkan sediktpun kemampuannya dalam memerintah. Kekuasaan kembali berada ditangan para permaisuri, Ratu Wei dan kekasih gelapnya Wu Sansi (sepupu Wu Zetian) mengendalikan pemerintahan kerajaan dengan melakukan korupsi, perampasan tanah, memaksa anak-anak menjadi budak, serta memperjual-belikan jabatan di istana. Ratu Wei diyakini telah meracun Zhongzhong dan merahasiakan kematiannya untuk sementara waktu hingga seluruh anggota keluarganya memperoleh jabatan penting di istana. Kemudian ia mengangkat putra sendiri, Chong Mao sebagai kaisar baru, tetapi kaisar baru ini tidak diikut sertakan dalam daftar kaisar Dinasti Tang, karena singkatnya masa pemerintahannya yang hanya berlangsung dua mingg. Musuh Ratu Wei yang dipimpin oleh Puti Taiping (anak Wu Zetian) menurunkan kaisar dari tahta dan meminta agar adiknya Li Dan yang sebelumnya pernah bertahta sebagai Kiasar Ruizong agar bersedia naik tahta kembali untuk yang kedua kalinya (702-710). Setelah memerintah selama dua tahun, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh putranya Li Longji, yang naik tahta dengan gelar Xuanzong (712-756).
Xuanzong yang dikenal dengan nama Minghuang “Kaisar nan Gemilang” adalah putra Ruizong dengan selir Dou. Masa kecil Xuanzong dibayang-bayangi oleh Wu Zetian, yang telah membunuh ibunya dan menjadikan anggota keluarga ayahnya sebagai tahanan rumah. Sebagai seorang kaisar baru, ia mewarisi negara yang kacau balau dan korup. Oleh karena itu, ia dengan segera melakukan gerakan pembersihan terhadap pejabat-pejabat lama dan menggantinya dengan wajah-wajah baru, sehingga memulihkan kembali otoritasnya sebagai kaisar. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah memulihkan kendali pemerintah pusat terhadap proinsi-provinsi yang jauh dengan jalan merotasi tempat tugas pejabatnya antara pusat dan daerah. Sehubungan dengan birokrasi pemerintahan, Xuanzong hanya mengangkat sedikit menteri saja, namun seluruhnya adalah orang berkompetensi tinggi. Pada masa pemerintahannya, hukum disusun kembali hingga terkesan manusiawi dan adil, dimana hal ini ditunjukkan untuk memulihkan ipati rakyat terhadap pemerintahan pusat, para tuan tanah yang dahulu tidak perlu membayar pajak kini harus membayar.
Kaisar Xuanzong juga merupakan seorang seniman terkemuka pada zamannya, ia merupakan seorang penyair, ahli kaligrafi, musisi berbakat, dan pelindung seni, ia mendirikan Akademi Sastra Kerajaan. Keterbukaan terhadap gagasan-gagasan baru menarik kedatangan para sarjana, pelukis, penyair, dan musisi dari berbagai negara. Sosok kaisar dengan kebribadian hangat ini, telah kenyang dan muak terhadap intrik istana, sehingga untuk mengantisipasi hal itu, ia menjauhkan istri-istrinya dan kaum Keberi dari urusan pemerintahan. Meskipun kaum wanita istana bebas untuk berhubungan dengan dunia luar, tetapi keluarga mereka tidak diperbolehkan memegang jabatan penting di istana. Sebagai langkah penghematan, Xuanzong melarang penggunaan barang-barang serta pakaian mewah, hiasan mutiara dan giok yang mahal-mahal tidak diperkenankan lagi untuk dikenakan di istana.
Seiring dengan bertambah usianya sang kaisar, ia makin jemu dengan urusan pemerintahan. Meskipun masih mengindari sidang harian di istana hingga berusia 70 tahun, ia makin tenggelam Daoisme dan Buddhisme Tantra, yang banyka dipenuhi oleh hal-hal yang magis, mantra, serta meditasi visualisasi. Para penguasa Dinasti Tang melegitimasi kekuasaan mereka dengan menyatakan dirinya sebagai keturunan Laozi, pendiri Daoisme, karena memang benar bahwa marga mereka kebetulan sama dengan marga Laozi (Li). Xuanzong memanfaatkan kebetulan ini untuk meningkatkan kekuasaanya denan jalan menunjang Daoisme lebih tinggi ketimbang Buddhisme.
c.    Kemuduran dan Keruntuhan Dinasti Tang
Para penguasa Dinasti Tang setelah Xuanzong merupakan kaisar-kaisar lemah, dan masa akhir Dinasti Tang dipenuhi dengan kekacauan serta pemberontakan. Salah satu pemberontakan terbesar yang menggoyahkan sendi-sendi Dinasti Tang adalah pemberontakan An Lushan yang berlangsung hingga tahun 763 selama pemerintahan dua orang kaisar, yakni Suzong (756-762) dan Daizong (762-779). Pemberontakan ini menyita kekayaan dan kekuatan Dinasti Tang. Kelemahan Dinasti Tang ini tidak disia-siakan oleh Bangsa Tibet yang berulang-ulang kali menyerang China hingga tahun 777. Menjelang akhir hayat Dinasti Tang para kaisarnya gagal mempertahankan kekuasaanya atas para gubernur setempat, bahkan jarang diantara mereka yang sanggup memerintah lebih dari 15 tahun.
Penyebab kemunduran dan keruntuhan Dinasti Tang dapat disimpulkan menadi lima hal, yaitu:
1)    Krisis Tianbao
2)    Pemberontakan An Lushan
3)    Gerakan saparatisme fanzhen
4)    Bangkitnya kembali kekuasaan ditangan kaum keberi dan perselisihan dalam istana.
5)    Pemberontakan petani
Penjabaran dari faktor penyebab runtuhnya Dinasti Tang, antara lain:
    Krisis Tianbao
Pada masa akhir pemerintahannya, Kaisar Xuanzong menjadi semakin mabuk kekuasaan dan boros, ia lebih mengutamakan bersenang-senang dengan selirnya yang bernama Yang Gueifei, selir yang sebelumnya merupakan istri anaknya ini berasal dari Sichuan dan terkenal akan kecantikannya. Karena sama-sama menggemari tarian dan musik, dengan segera kaisar tersihir oleh pesonanya. Urusan kenegaraan diabaikan dan orang-orang yang tidak setia dan korup diangkatnya sebagai menteri, seperti Li Linfu serta Yang Guozhong.
Tindakan ini menyebabkan kekacauan dalam pemerintahan. Li Linfu merupakan seseorang yang selalu diliputi rasa iri dan dengki, dalam kurun waktu 16 tahun masa jabatannya itu, ia telah bertindak sebagai seorang tiran atau diktator, selalu saja dicarinya akal untuk menjebak dan menyingkirkan orang-orang yang menentangnya. Ketika Li wafat, kaisar mengangkat Yang Guozhong yang merupakan kerabat selir kesayangannya itu sebagai penggantinya, inilah yang membuka peluang bagi keluarga Yang Guozhong untuk menguasai pemerintahan Dinasti Tang.
    Pemberontakan An Lushan
Pada tahun 755 An Lushan seorang jenderal penjaga perbatasan (jiedushi), ia merupakan keturunan Turki yang bertubuh gemuk dan berperangai kasar, menerbitkan pemberontakan di Fanyang dengan tujuan untuk mengakhiri kekuasaan pejabat korup Yang Guozhong. Ia menyatakan dirinya sebagai kaisar dan menamai dinastinya dengan Yan. Pasukan yang dipimpinya menyerbu ke arah selatan, membantai penduduk Kaifeng merebut Luayong dan ibukota Changan. Kaisar beserta Yang Guifei melarikan pada malam harinya ke Sichuan, ditengah pelarian itu, para prajurit yang menyertai kaisar menyalahkan Yang atas segenap kekacauan itu dan menuntut agar Yang dibunuh saja. Kaisar yang tidak berdaya terpaksa memenuhi tuntutan itu dan memerintahkan agar selir kesayangannya itu menjerat lehernya sendiri dengan tali sutra, lalu Yang Guozhong juga menemui ajalnya ditangan para prajurit.
Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Jendral Guo Ziyi dan Li Guangbi pada tahun 763. Kedahsyatan pemberontakan ini mengakibatkan hancurnya perekonomian China utara dan tanah yang terbengkalai semakin luas. Kota-kota dan desa-des berubah menjadi reruntuhan serta ditumbuhi ilalang. Peristiwa ini dikatakan sebagai titik balik kejayaan Dinasti Tang menuju keruntuhannya.
    Gerakan Separatisme Fanzhen
Pada awal abad ke-8, untuk melindungi daerah perbatasan, didirikanlah berbagai benteng di daerah perbatasan yang disebut dengan fanzhen. Pemimpin masing-masing benteng itu diberi gelar jiedushi atau “jenderal penjaga perbatasan”. Mereka memegang kekuasaan militer, sipil, dan keuangan. Seiring dengan berjalannya waktu, kekuasaan penguasa masing-masing benteng ini makin meningkat. Pada masa pemberontakan An Lushan saja, lebih dari 90% angkatan bersenjata kerajaan berada dibawah kendali fanzhen. Pemerintah pusat secara bertahap kehilangan kendali atas daerah-daerah perbatasan yang jauh
Setelah pemberontakan An Lushan berhasil dipadamkan, jumlah fanzhen semakin bertambah dan para penguasa Dinasti Tang harus membagi loyalitas mereka denga harga mahal. Jiedushi diizinkan untuk membentuk tentara sendiri dan memungut pajak. Mereka juga diperbolehkan untuk mewariskan jabatan mereka pada keturunannya. Banyak daerah yang berada dibawah kekuasaan  jiedushi, hanya secara teoritis saja berada dibawah kekuasaan Dinasti Tang, sehingga boleh dikatakan bahwa para jiedushi ini telah mendirikan kerajaannya senidir-sendiri. Masing-masing fanzhen bertumpu pada kekuatan militer dan finansialnya, dimana mereka saing berperang satu sama lain dan terkadang juga memusuhi pemerintah pusat, konflik ini berlangsung hingga penghabisan Dinasti Tang dan benar-benar memperlemah persatuan negara.
    Bangkitnya Kembali Kekuasaan di Tangan Kaum Keberi dan Perselisihan dalam Istana
Bangkitnya kembali pengaruh Kaum Keberi sebenarnya berawal pada akhir pemerintahan Kaisar Xuanzong, ketika salah seorang dari mereka yang bernama Gao Lishi diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik. Pada saat Kaisar Suzong mewarisi tahta, ia memberikan jabatan penting sebagai penasihat pada seorang Keberi bernama Li Fuguo, dan bahkan menjadikannya pemimpin pasukan pegawai kerajaan. Pada akhir-akhir makin banyak tugas penting yang dilimpahkan pada mereka, seperti penetapan kebijakan politik, pengangkatan para pejabat, dan bahkan penobatan atau penyingkiran seorang kaisar.
Intrik dalam istana yang terjadi antara masa pemerintahan Kaisar Xianzong ((762-779) dan Xuanzong [II] (846-859) makin memperburuk keadaan. Pada saat itu, para pejabat istana terpecah menjadi dua kubu yang masing-masing disebut dengan Kubu Li dengan Li Deyu sebagai pemimpinnya dan Kubu Niu dengan Li Zongmin sebagai pemimpinnya. Kedua kubu inimasing-masing memperjuangkan kepentingannya sendiri. Perselisihan dalam istana ini tentu saja makin mempercepat kejatuhan Dinasti Tang.
    Pemberontakan Petani
Pada masa akhir Dinasti Tang, para penguasa menjadi begitu serakah dan korup, mereka merampas tanah secara semena-mena dan tetap memungut pajak meskipun terjadi bencana alam, ini semua mengakibatkan penderitaan tak terkira bagi para petani, ditambah lagi dengan bencana alam dan banyaknya yang tewas akibat berkecamukny berbagai perang saudara dipengujung Dinasti Tang. Penderitaan yang luar biasa ini mendorong mereka untuk memberontak pada tahun 875.
Pemimpin mereka bernama Wang Xianzhi dan Huang Zhao mulai mengobarkan pemberontakan di Henan dan Shandong. Beberapa tahun kemudian, Wang Xianzhi wafat dan digantikan oleh Huang Zhao, ia berhasil menguasai hampir setengah wilayah China. Pada akhirnya kaum pemberontak berhasil menguasai Changan dan mendirikan dinasti baru bernama Qi. Kaisar Xizong (873-888) terpaksa melarikan diri ke Chengdu. Meskipun berhasil meraih kemenangan gemilang, pasukan pemberontakkan masih belum sanggup mematahkan sepenuhnya kekuatan Dinasti Tang. Kaisar Xizong mengumpulkan sisa-sisa pasukan yang masih loyal pada kerajaan dan menggabungkannya dengan fanzhen. Dengan kekuatan gabungan ini pasukan pemberontakan berhasil diusir dari Changan. Huang Zhao merasa putus asa atas kekalahan itu dan membunuh dirinya pada tahun 884. Sekalipun para pemimpinnya telah tewas, tetapi pemberontakan ini masih berlangsung selama 10 tahun lagi, dan melanda belasan provinsi, seta melibatkan lebih dari 1juta pasukan. Pemberontakan ini melemahkan kelas penguasa dan kekuatan militer Dinasti Tang.
d.    Akhir Dinasti Tang
Kaisar Xuanzong digantikan oleh Li Yu, putra ketiganya yang naik tahta dengan gelar Suzong (756-762), penguasa Dinasti Tang berikutnya merupakan putra tertua Suzong yang naik tahta dengan gelar Daizong (762-779). Masa pemerintahan kedua penguasa ini didominasi oleh pemberontakan An Lushan, kerusakan yang ditimbulkan pemberontakan ini sangatlah besar pada populasi penduduk Dinasti Tang merosot dari 53juta jiwa (sensus tahun 754) menjadi hanya 17juta jiwa (sensus tahun 764). Keadaan ini makin diperparah dengan penyerbuan bangsa Tibet terhadap Changan pada tahun 763. Meskipun Daizong dapat kembali ke Changan, tetapi bangsa Tibet masih terus melancarkan serangannya hingga tahun 777. Sebagai seorang penguasa Daizog gagal mengendalikan keadaan, ia tidak berhasil pula membangkitkan semangat dan moralitas prajuritnya dan malah terbawa dalam hal-hal mistik. Kaum Keberi dijadikan penasihatnya. Ketidaksanggupan Daizong ini mengakibatkan lepasnya enam provinsi diperbatasan dari kendali pemerintah pusat, para gubernurnya telah bertindak seolah-olah sebagai raja yang merdeka.
Li Shi, putra tertua Daizong menggantikan ayahnya sebagai kaisar dengan gelar Dezong (779-805), ia merupakan seorang penguasa yang cerdas, berusia 40 tahun yang berusaha mengembalikan otoritas kerajaan. Tetapi, usaha ini digagalkan oleh para gubernur setempat antara tahun 781-786, yang berusaha untuk mengokohkan pewarisan kekuasaan mereka pada putra-putranya. Karena tidak mempercayai seorangpun sebagai kepala pasukan pegawai istana, Daizong menyerahkannya dibawah kendali Kaum Keberi. Hal ini dilakukan karena kaisar yakin bahwa ketergantungan kaum tersebut pada kerajaan akan menjamin loyalitas mereka. Naum, kaum Keberi tenyata menyalahgunkan kepercayaan kaisar dengan menganiaya rakyat, menerima suap, serta mengadopsi anak demi melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah mereka membengkak mejadi 5.000 orang dan cukup berpengaruh dalam menentukan suksess kepemimpinan Dinasti Tang.
Shunzong (805) alia Li Song, putra tertua dan pewaris Daizong menderita kelumpuhan akibat stroke dan mengudurkan diri setelah setahun berkuasa. Meskipun hanya berkuasa setahun, Shunzong dengan berani mendukung rencana reformasi yang diajukan Wang Shuwen, seorang pejabat yang jujur dan setia serta menitahkan agar kaum miskin dikecualikan dari penarikan panjang. Kaisar dengan penuh keberanian mengukum para pejabat yang tidak jujur, gebrakan ini dikenal dengan sebutan Reformasi Yongzhen. Tindakan tentu saja mendapat tentangan dari para pejabat dan kaum Keberi yang korup, mereka bersatu padu dan memaksa kaisar turun tahta saat menderita stroke.

e.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Semasa Dinasti Tang
Ilmuan terkenal pada masa xuanzong adalah yixieng (683-727), yang sekaligus merupakan seorang biarawan budhis. Ia adalah orang yang pertama menghitung panjangnya garis bujur bumi dan penemu sebuah alat khusus yang dipergunakan untuk mengukur panjang lingkaran garis bujur bumi tersebut. Untuk melakukan pengukuran ini, yixieng harus prgi ke Henan pada tahun 724 guna mengamati perbedaan derajat bayangan matahari. Apa yang di lakukan yixieng ini merupakan usaha pengukuran garis bujuryang pertama di dunia. Yixieng merupakan penerjemah beberapa kitab suci budis berbahasa sansekerta ke dalam bahasa mandarin (antara lain sutra mahavairocana) sehingga memperkaya kazanah kesusastraan China.
Prestasi besar dinasti Tang lainnya adalah pembuatan patung lembu yang terbuat dari besi tuang, di mana empat buah patung semacam ini ditemukan kembali pada tahun 1989. Hasil karya tersebut menunjukan betapa majunya China  di dalam seni pengolahan dan pengecoran logam.
Sehubungan dengan ilmu bangunan, dinasti tang merupakan pelopor pembangunan jembatan busur yang terbentuk dari skmen sebuah lingkaran. Insinyur China adalah yang pertama kalimenmukan bahwa sebuah busur tidaklah harus terbentuk dari setengan lingkaran penuh. Sebuah jembatan tidak harus di bangun menurut busur setengah lingkaran, melainkan dapat pula di bentuk dari sekmen lingkaran.   
f.    Pekembangan Ilmu Pengobatan Semasa Dinasti Tang
Ilmu pengetahuan berkembang pesat semasa pemerintahan dinasti sui dan tang. Pada masa awal pemerintahan kaisar Taizong, negara membuka sekolah ketabibpan yang mengajarkan berbagai spesifikasi di bidang pengobatan. Selanjutnya, semasa berkuasa Kaisar Gaozong, pemerintahan Dinsti Tang menerbitkan buku kumpulan bahan obat-obatan, dimana karya semacam itu baru muncul di Eropa 800 tahun kemudian. Tokoh terkemuka ilmu pengobatan yang berasal dari zaman ini adalah Sun Simiao yang mempelajari hasil karya tabib terkemuka zaman dahulundan gejala-gejala pnyakit yang dialami masyarakat.
Selain itu, Sun juga meneliti praktik pengobatan rahasia dan juga pengetahuan medis yang berasal dari negeri asing. Semua itu lalu diterbitkan dalam dua jilid buku yang masing-masing berjudul Qianjing Fang (sepuluh ribu resep keemasan) Qianjing Yifang (sepuluh ribu pelengkap resep keemasan). Kedua naskah itu berisikan berbagai hal yang meliputi farmakologi, etiologi, ginekologi, pediatrik, metode diet, akupuntur, dsb. Berbagai penyakit beserta obatnya dijelaskan secara gamblang di dalamnya. Karya Sun ini diakui ebagai konstributor penting bagi perkembangan ilmu pengobatan tradisional China. 
g.    Perkembangan Seni Semasa Dinasti Tang
Zaman ini sering disebut sebagai masa kejayaan puisi China. Tema dan gayanya begitu luas, sehingga boleh dikatakan bahwa seni puisi semasa Dinasti Tang melebihi para pendahulunya. Kumpulan lengkap puisi-puisi Dinasti Tang diterbitkan semasa Dinasti Qing (1644-1911/1912) dan berisikan lebih dari 50.000 puisi yang berasal dari sekitar 2.000 penyair. Para penyair terkenal yang hidup di zaman ini adalah Li Bai, Du Fu, dan Bay Juyi. Li Bai alias Li Bo atau Li Daibo (701-762) hidup semasa puncak kejayaan Dinasti Tang dan telah menuliskan sekitar 900 puisi. Ciri khas karyanya adalah pengungkapan perasaan yang bebas dan imajinatif. Salah satu karyanya berjudul Dibawa ke dalam anggur (Bringing in the Wine) yang berbunyi:
o, biarlah seorang lelaki yang bersemangat bertualang ketempat yang disukainya. Dan tidak pernah mengosongkan cangkir emasnya di hadapan sang rembulan. Karena langit memberinya bakat, maka biarlah itu dimanfaatkanya.
Dalam karyanya ini, jelas sekali Li Bai memberikan nasihat untuk memanfaatkan segenap  bakat yang kita miliki. Sajak Li Bai lainya berjudul Pertempuran di sebelah selatan Benteng-benteng (Fighting South of the Ramparts):
Pasukan sang raja telah menua
Maju berperang sejauh 10.000 li dari rumah
Bangsa Hun tidak pernah berdagang dan hanya tahu bertempurserta menumpahkan darah
Mereka tidak memiliki ladang untuk diolah
Tetapi hanya gurun di mana tulang memutih terserak di atas pasir kuning
Orang mati di mdan perang, menghantamkan pedang dengan pedang
Kuda sang penakluk meringkik ke langit
Gagak dan elang mematuki sisa-sisa tubuh manusia
Membawa dengan paruhnya dan menggantungkanya di pohon nan kering
Komandan dan serdadu sama-sama tergolek di atas belukar serta rumput
Para  jendral mencari strategi dengan sia-sia
Dengan demikian tahulah ia bahwa pedang itu benda terkutuk
Di mana orang bijak akan menggunakannya hanya bila sangat di perlukan
Maka sajak di atas adalah dukungan bagi perdamaian dan kecaman bagi peperangan karena hanya akan mengorbankan nyawa manusia secara sia-sia.
Li Bai adalah seoarang yang gemar mengembara dan tidak senang tinggal menetap di suatu tempat. Li amat mecintai keindahan alam, kegemaran Li Bai lainya adalah arak. Dalam kebanyakan sajaknya, tak pernah ia melupakan arak dan rembulan, yang sinar keemasannya begitu mempesonakan hatinya.
Du Fu (712-770) adalah penyair yang memiliki kehidupan yang menyedihkan. Hidupnya sering di rundung bencana. Karena sering dirundung kemalangan ini, sajaknya sering diwarnai oleh nuansa kesedihan dan kemuraman:
Di belakang pintu hartawan, arak dan daging membusuk
Di jalan terserak tulang orang yang mati beku
Sajak-sajak karya Du Fu sangat mengharukan hati, serta mencerminkan sikap yang anti peperangan.
Penyair berikutnya adalah Bai Juyi (772-846). Isi sajaknya bertemakan kecaman terhadap ketidak-bijaksanaan pemerintan serta kebiasaan buruk masyarakat.
h.    Perkembangan Ekonomi dan kemasyarakatan Semasa Dinasti Tang
Pemerintahan Dinasti Tang memperpanjang terusan yang telah di bangun oleh para penguasa Dinasti Sui guna memperlancar transportasi gandum dari daerah aliran sungai Yangzi yang subur ke utara. Ibukota Changan dan Luoyang dikeliligi oleh tembok kokoh sepanjang 36 km. Untuk mempermudah administrasi pemerintahan, ibukota di bagi menjadi beberapa sektor.
Dinasti tang memberlakukan sistem pembagian tanah secara merata (juntiafa) yang sebelumnya telah diperkenalkan semasa Kerajaan Wei Utara. Sistem pembagian tanah secara merata ini dimaksudkan untuk menjamin pemasukan yang pasti bagi negara dengan mengurangi kepemilikan tanah oleh para tuan tanah. Untuk merealisasikan sistem ini, diperlukan pendataan jumlah rumah tangga yang akurat (huji) melalui sensus penduduk. Meskipun seluruh tanah di negeri itu secara toritis adalah kepunyaan kaisar, tetap saja para bangsawan dan tuan tanah setempat dapat memperluas kepemilikan tanah secara legal.
Sistem ujian negara sering disempurnakan semasa Dinasti Tang, dengan menambahkan lebih banyak mata ujian. Secara umum, ujian negara itu di bagi menjadi dua bagian yaitu changju dan zhiju. Changju terdiri dari berbagai subjek, tetapi yang terpenting di antaranya adalah kajian kiat klasik Konfusianisme (minjing) dan sastra (jinshi). Zhisu dihadiri oleh kaisar sendiri, dan tidak memiliki subjek yang pasti. Sistem ujian negara ini membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk menadi pejabat, dimana hanya orang yang oaling berbakat saja yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kitab hukum Dinasti Tang disusun pada tahun 624 dengan berdasarkan atas undang-undang yang berlaku pada zaman dinasti-dinasti sebelum nya. Di dalam nya, tercantum aneka kejahatan beserta hukuman nya masing-masing. Kitab undang-undang ini juga mempengaruhi negara-negara tetangga Dinati Tang, seperti Korea, Jepang, dan Vietnam.
i.    Penjelajahan dan Hubungan Luar Negeri Semasa Dinasti Tang
1.    Perjalan Xuanzang
Xuanzang terlahir dengan nama asli Chen Yi di dekat Luoyang, Henan pada tahun 602. Perjalanan diam-diam yang diawali pada tahun 629 dilakukan melalui Liangzhou di provinsi Gansu, lalu begerak ke arah barat melalui arah barat melalui provinsi Qinghai, Gurun Gobi, Hami, dan pegunungan Tianshan, sebelum akhir nya tiba di Turfan pada thun 630.
Perjalan dilanjutkan melalui berbagai negeri di Asia Tengah.setelah melalui celah Khyber, tia lah Xuanzang di  India.setelah mengumpulkan kitab-kitab suci Buddhis, Xuanzang melakukan persiapan untuk pulang ke Cina dan tiba embali di Changan pada tahun 645.
 Catatan sejarah mengatakan bahwa Xuanzang telah membawa 657 kitab dari india yang dimuat dalam 520. Karya-karya terepenting Xuanzang adalah sebuah catatan perjalanan yang berjudul Datang Xiyuji (catatan mengnai daerah barat) serta risalah keagamaan berjudul Chengweishilun.catatan perjalanan itu benar-benar merupkan informasi sejarah berharga bagi para arkeolog dan ahli sejarah jaman sekarang untuk menentukan lokasi kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tengah.
2.    Perjalanan Yijing
Berbeda dengan Xuanzang yang mengambil jalan darat menuju ke india, Yijing menempuhnya melalui laut. Yijing telah mengumpulkan berbagai naskah suci buddis, yang kini di bawanya ke Sriwijaya untuk diterjemahkan di sana. Selama hidup nya, Yijing telah menerjemahkan 56 kitab dalam 260 gulung (Quan), yang pentin di antaranya adalah Sutra Mahavairocana dan kumpulan aturan moralitas biarawan (Vinaya) aliran Mulasarvastisfada.
3.    Hubungan Persahabatan dengan Negeri Asing
Dinasti Tang merupakan zaman keemasan hubungan internasional dengan negeri-negeri asing. Dinasti Tang menjalin hubungan dagang dengan lebih dari tujuh puluh negara yang ada pada masa itu. Guna meningkatkan kemajuan perdagangan internasional ini, pemerintah memberikan keistimewaan pajak terhadap orang asing.
Contoh negara-negara yang menjalin hubungan persahabatan dengan China adalah  Persia dan Arab (Dashi). Bangsa Arab disebut Dashi pada zaman Dinasti Tang, diman pada tahun 651 mereka mengirim duta besar ke Changan untuk membuka hubungan dagang dengan China.
China juga menjalin hubungan denagan kekaisaran Bizantium yang dalam bahsa Tionghoa disebut Fulin. Catatan sejarah menyatakan bahwa utusan yang datang pada tahun 643 itu dikirim oleh Raja Fulin yang bernama Poduoli. Dari golongan Tionghoa sendiri, ada beberapa orang yang telah mengunjungi kekaisaran Bizantium.
 Catatan yang di buat oleh plancong Tionghoa merupakan satu-satunya uraian mengenai bangsa barat yang terdapat dalam catatan sejarah Dinasti Tang.
4.    Hubungan dengan suku-suku barbar di perbatasan China
Dinasti Tang mengembangkan politik perdamaian  dengan bangsa dan negeri-negeri kecil tetangga nya. Tujue adalah nama bangsa pengembara yang hidup di pegunungan Altai. Mereka membentuk suatu kerajaan pada pertengahan abad ke-6 dan berniat untuk memperluas wilayahnya. Semenjak lama, bangsa ini telah membina hubungan baik dengan China.
Bangsa Huihe adalah nenek moyang Bangsa Uigur, yang secara bertahap menjadi semakin kuat semenjak pemerintahan Dinasti Sui. Semasa Dinasti Tang, kerajaan ini membina hubungan baik denganya. Karena hubungan persahabatan yang erat ini, pasukan Huihe ikut serta mebantu Dinasti Tang memadakan pemberontakan An Lushan.
Semenanjung Korea semasa awal Dinasti Tang terbagi menjadi tiga negara, yakni Koguryo (Gaoli), Silla (Sinluo), dan Pekchee (Baij). Sekuruh kerajaan itu memiliki hubungan baik dengan Dinasti Tang. Budaya Tang sangat berpengaruh di silla. Pada tahun 675, mereka mengadopsi ssten penanggalan Dinasti Tang serta mulai menerapkan administrasi pemerintahan China pada pertengahan abad ke-8. Barang-barang Komoditas Silla makin memperkaya kehidupan penduduk Dinasti Tang,
Hubungan China dengan Jepang telah brlangsung semenjak awal Dinasti Tang dan masih berlanjut hingga zaman Dinasti sui dan Tang. Bahkan semenjak Dinasti Tang, Jepang mengirm utusan ke China sebanyak19 kali. Para pelajar dan biarawan berdatangan ke Chna untuk untuk menuntut ilmu. Yang terkemuka  diantara mereka adalah Apeizhongmalu dan seorang biarawan bernama Kobo Daishi (Konghai Daishi). Apeizhongmalu adalah pelajar Jepang paling terkemuka yang mengunjungi China.
Sebaliknya, para pelajar dan biksu China juga dikirimkan ke Jepang. Jian zhen adalah yang terpenting diantara mereka. Ia berlayar ke Jepang dan memperkenalkan Buddisme liran Vinaya ke sana. Pertukaran budaya ini sangat menguntungkan kedua bangsa. Kebudayaan Tionghoa menyebar hingga ke Jepang, diman sistem politik, hukum, ekonomi, dan gaya hidup sangat dipengaruhi oleh Dinasti Tang. Sebaliknya, budaya Jepang juga diperkenalkan di China, seperti musik dan tarian, yang menjadi sangat digemari pada masa itu.
5.    Hubungan dengan Kepulauan Nusantara
Berita sejarah China yang berasal dari zaman Dinasti Sui menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan yang berasal dari sebuah negeri bernama Duoluomo. Berdasarkan catatan geografis yang diberikan oleh berita sejarah itu, dapat disimpulkan bahwa Duoluomo ini adalah nama sebuah negeri yang terleta di Jawa bagian barat. Berdasarkan penemuan prasasti di Jawa Barat (prasasti ciareteum, pasir koleangkang, dsb) yang menyebutkan adanya nama negara bernama Tarumanegara, kita boleh menyimpulkan bawa Duoluomo ini identik dengan Tarumanegara.
Catatan Sejarah lainya dari Dinasti Tang menyebutkan adanya sebuah negeri bernama Heling atau sering juga disebut Jawa yang terletak di laut selatan, sebelah timur Sumatra dan sebelah barat Bali. Oleh para sarjana, nama Heling ini diasosikan dengan Kalingga yang diperkirakan terletak di Jawa Tengah bagian Utara.
Ternyat tidak hanya negeri-negeri di pulau Jawa saja yang menjalin hubungan dengan Dinasti Tang, kerajaan-kerajaa di Sumatra ternya juga telah menjalin hubunan diplomatik dengan China. Sebuah negeri bernama Kantuoli yang terletak di Sumatra telah mengirimkan utusan ke China semenjak abad ke 5 hingga kurang lebih pertengahan abad ke 6. Semenjak saat itu hingga abad ke 14, nama ini tidak lagi disebut. Berita yang berasal dari abd ke 14 menyebutkan bahwa Sriwijaya dahulunya disebut Kantuoli. Yijing, seorang biksu terkemuka semasa Dinasti Tang, berkesempatan mengunjungi Sriijaya, dan mencatat pada tahun 689 dan 692 bahwa Sriwijaya adalah pusat Buddisme termasyhur. Yijing menganjurkan bahwa seseorang yang ingin belajar Buddisma di India, hendaknya belajar dahulu setahun atau dua tahun di Sriwijaya, shingga dapat lebih memahami kitab-kitab Buddis yang ali di India.
Sepulangnya dari belajar di Universitas Nalanda (India), Yijing tinggal di Sriwijaya selama 4 tahun (685-689) untuk menerjemahkan kitab-kitab Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin. Karena pekerjaan ini sangat berat baginya, akhirnya Yijing pulang dahulu ke China dan kembali bersama empat orang asistenya. Barulah setelah itu usaha menerjemahkan kitab suci dilanjutkan. Yijing tinggal di Sriwijaya hingga tahun 695. Negeri lainya di Sumatra yang menjalin hubungan diplomatik dengan China adalah Melayu, yang mengirimkan utusan pada tahun 644 atau awal 645.
 

sejarah filsafat cina









SEJARAH ALIRAN FILSAFAT DI CHINA




MAKALAH




Oleh 
Sifah Arifah
NIM 120210302060
Lailatus Sakinah R.
NIM 120210302042
Anny Miftaqul R.
NIM 120210302081
Vivin Wulandari
NIM 120210302073





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL    i
DAFTAR ISI    ii
BAB 1. PENDAHULUAN    1
1.1 Latar Belakang    1
1.2 Rumusan Masalah    2
1.3 Tujuan    2
1.4 Manfaat     3
BAB 2. PEMBAHASAN    4
2.1 Kong Fuzi (551-472 SM)    8
     2.1.1 Riwayat Singkat    8
     2.1.2 Kitab-Kitab yang Mendasari Ajaran Konfusianisme    10
     2.1.3 Ajaran Konfusius    11
     2.1.4 Mengzi (Mensius)    15
2.2 Para Ahli Filsafat Daois    16
     2.2.1 Laozi    16
     2.2.2 Zhuangzi dan Liezi    18
     2.2.3 Perbedaan Pandangan Lain Antara Daoisme
             dan Konfusianisme    22
2.3 Aliran Legalisme (Fajia)    24
2.4 Mozi    26
2.5 Filsafat Perang Sunzi    28
BAB 3. PENUTUP    34
3.1 Kesimpulan    34
DAFTAR PUSTAKA    35




BAB 1. PENDAHULUAN


    Pada bab ini akan dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan pendahuluan yang meliputi (1) latar belakang; (2) rumusan masalah; (3) tujuan ; (4) manfaat .


1.1    Latar Belakang
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Namun, sebenarnya filsafat timur ini tidak hanya di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi. Oleh sebab itulah, kami akan membahas lebih rinci mengenai awal kemunculan berbagai aliran filsafat di Cina.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Siapakah Kong Fuzi ?
2.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Konfusianisme?
3.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Daoisme?
4.    Siapakah tokoh-tokoh yang menganut aliran filsafat Daoisme?
5.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Aliran Legalisme (Fajia)?
6.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Mozi?
7.    Apakah yang dimaksud aliran filsafat  Perang Sunzi?


1.3 Tujuan
Diharapkan pembaca dapat mengetahui dan mengerti  tentang para tokoh filsafat di cina dan sejarah berbagai aliran filsafat di cina.



1.4 Manfaat
Pembaca dapat meneladani sifat dan sikap positif dari para tokoh filsafat di cina dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB 2. PEMBAHASAN

        Perkembangan Awal Filsafat Cina Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.

Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.

            Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yangmembedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik.
             Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain.
            Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyakmemusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India..

Ciri-ciri Filsafat Cina:
Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.

               Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.

            Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.

    Dinasti Zhou merupakan dinasti yang terlama memerintah di China, yakni sekitar 800 tahun dan terkenal karena pencapaiannya dalam bidang filsafat. Pada masa dinasti ini, lahirlah para filosof terkemuka, seperti: Lao Zing, Kong Zi (yang terkenal di Barat dengan sebutan Confucius dan di-Indonesia-kan sebagai Konfusius atau Khonghucu), Meng Zi (lebih terkenal di Barat dengan sebutan Mercius dan di-Indonesia-kan sebagai Mensius), dan lain sebagainya. Namun, yang terpenting di antara semua ahli filsafat itu memang hanya tiga, yakni: Lao zi, Kong Zi, dan Meng Zi. Selain ketiga ahli filsafat terkemuka tersebut, terdapat pula aliran filsafat lain yang cukup penting, yakni Legalisme (fajia), karena memiliki peran signifikan dalam penyatuan kembali China di bawah Dinasti Qin.


2.1 Kong Fuzi (551-472 SM)
2.1.1 Riwayat Singkat
    Kong Fuzi juga dikenal dengan sebutan Kong Zi yang berarti “Guru Bermarga Kong). Bangsa Barat lebih mengenalnya dengan sebutan Konfusius. Hambatan utama dalam mempelajari riwayat hidup Konfusius adalah banyaknya tradisi serta dongeng yang menyelubungi riwayat kehidupannya. Kong Zi yang dilahirkan pada tahun 551 SM ini memiliki nama kecil Qiu atau Zhongni. Ayahnya meninggal dunia saat ia baru berusia 3 tahun, dan ibunya menyusul ayahnya pada waktu ia berumur 17 tahun. Pada usia 15 tahun , Konfusius telah mempelajari berbagai buku pelajaran. Menjalani kehidupan berkeluarga pada usia 19 tahun dengan menikahi gadis dari negara bagian Song bernama Yuan Guan (dalam buku tulisan Chen Wangheng disebutkan sebagai Qi Guan, sumber lain ada yang menyebutkan Kian Goan dalam Dialek Hokkian). Anak pertama Konfusius lahir setahun kemudian dan diberi nama Kong Li.
    Sebagai seorang pemuda, ia cepat dikenal sebagai orang yang bijaksana, sopan dan senang belajar. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan oleh Konfusius, antara lain sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan.
    Dalam memegang jabatan pemerintahan, ia sangatlah arif dan bijksana, sehingga selalu mendapatkan    promosi jabatan (dari usia 35 tahun sampai 60 tahun). Konfusius pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Sesudah mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, Konfusius lebih banyak berdiam di rumah untuk menerbitkan Kitab tentang Puisi atau Kitab Sajak (The Book of Poetry / Odes= Shijing), mengubah musik, dan menyusun tata krama kuno, termasuk menulis dan menerbitkan Kitab sejarah Musim Semi dan gugur ( Spring and autumn Annals= Cungiu). Meskipun demikian, para ahli tidak menganggap kitab-kitab tersebut sebagai asli berasaldari Konfusius.
    Ahli filsafat besar China ini juga selalu meluangkan waktu untuk memberi kuliah dan berbagi pengetahuan dengan murid-muridnya. Dia menerima siapa saja, tanpa memandang miskin atau kaya, semuanya diberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga jumlah muridnya berkembang pesat. Dalam usia 67 tahun, ia kembali ke tempat kelahirannnya untuk mengajar dan mengabadikan tradisi-tradisi kuno dalam bentuk tulisan.
    Konfusius wafat pada tahun 472 SM dalam usia 73 tahun. Menurut kitab Shiji (Catatan Sejarah) karya Sima Qian, dijelaskan bahwa 72 muridnya menguasai enam jenis seni, demikian juga terdapat kurang lebih 3000 orang yang mengaku sebagai pengikut Konfusius waktu itu. Ajaran Konfusius juga disebut dengan rujia.


2.1.2 Kitab-Kitab yang Mendasari Ajaran Konfusianisme
Para ahli mengatakan bahwa kitab selain  Xiaojing, kitab yang benar-benar ditulis oleh Konfusius, dapat dikatakan hampir tidak ada (meskipun para penganut Konfusianisme meyakini kitab-kitab tersebut asli karangan Konfusius sendiri). Sedangkan kitab-kitab yang sekarang kita kenal sebagai kitab-kitab Konfusianisme, sesungguhnya adalah hasil penghimpunan kembali oleh seorang ahli filsafat Konfusianis, bernama Zhu Xi (1130-1200) yang hidup semasa dinasti Song.
Berikut ini daftar lengkap kitab-kitab yang mendasari Konfusianisme sebagaimana yang kita kenal sekarang:
•    Zhouyi, berasal dari kitab Yijing dan Yizhuan yang digabung menjadi satu.
•    Shujung atau Shangshu, catatan-catatan politik dinasti Zhou dan zaman sebelumnya.
•    Shijing, catatan nyanyian pada zaman dinasti Zhou.
•    Zhouli, mencatat sistem pemerintahan dan organisasi negara pada zaman Dinasti Zhou.
•    Yili, adat istiadat para bangsawan.
•    Cungiu Zhuozhun, buku sejarah bagian Lu yang dikarang oleh orang kerajaan Ji bernama Gong Yang Zi.
•    Chungiu Gongyang Zhuan, yang dikarang oleh kerajaan Ji bernama Gong Yang Zi.
•    Cungiu Kailiang Zhuan, dikarang oleh murid Zi Xia (muridnya Konfusius juga yang akhirnya menjdi penganut fajia), yaitu Kai Liang.
•    Lunyu, pada awalnya itu bukan disebut Lunyu, bahkan ada dua jenis, yaitu Jiliun dan Lulun. Lunyu yang sekarang ini dirangkai kembali oleh Zhang Yi yang berdasarkan dari kitab Jilun dan Lulun. Sering disebut Zhang Hou Lun.
•    Mengzi, buah karya mengzi, sarjana Konfusianis terkemuka.
•    Xiaojing, yang diyakini sebagai karya Konfusius.
•    Erya, buku-buku syair yang dipercaya dibuat oleh Zhou Gong.
•    Liji, membahas tentng kebjikan dan adat istiadat. Diyakini telah dicatat dan dikumpulkan oleh 70 murid Konfusius. Di dalamnya terkandung kitab Daxue dan Zhongyong.
Sebelumnya pada masa Dinsti Han, kita hanya mengenal enam kitab atau Liu Jing:
•     Shijing
•    Shujing atau Shangshu
•    Lijing yang mempunyai 3 bagian , yaitu Liji, Yili, dan Zhouli
•    Zhouyi
•    Cungiu
•    Yuejing
2.1.3 Ajaran Konfusius
Pada masa hidupnya Konfusius mengalami kemerosotan Dinasti Zhou. Pada zamannya, apa yang dimaksud dengan adat istiadat telah menjadi semacam peraturan-peraturan upacara pengorbanan dan kesopanan basa-basi semata. Kemerosotan moral terjadi di mana-mana. Konfusius mengajarkan kebajikan dengan harapan bisa membawa perubahan pada masa yang kacau itu.
Filsafat Konfusius didasarkan pada pendidikan moral masing-masing individu. Ia selalu mendorong seseorang untuk berbuat baik. Dalam  Lunyu, Konfusius menekankan ren yang artinya kebajikan. Arti kata ren sendiri adalah “Kasihanilah sesamamu, jangan lakukan perbuatan terhadap orang lain apabila engkau tidak suka diperlakukan demikian” dan juga mengandung pengertian yang berupa keinginan untuk mengembangkan diri maupun sesama kita. Konfusius juga membahas mengenai Li  yang dapat diartikan sebagai tata krama atau adat istiadat. Arti Li sendiri pada mulanya adalah “berkorban”, yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi upacara adat-istiadat pengorbanan pada leluhur sebagaimana yang dilakukan oleh para kaisar. Makna Li  kemudian juga mencakup tata cara basa-basi dan pandauan berperilaku bagi kaum bangsawan terhadap sesama mereka. Adat istiadat upacara pengorbanan yang berlaku saat itu banyak berisi hal-hal remeh seperti tata cara meletakkan jari tangan saat memungut benda-benda upacara. Tatacara itu telah menjadi suatau rumusan baku yang tidak berubah lagi. Konfusius memberikn kritikan terhadap adat istiadat yang berlaku saat itu dengan memberikn definisi baru bagi Li . ia mengkritik:
Bila para penguasa bersunggguh-sungguh dalam menyelenggarakan upacara pengorbanan pada leluhur, mengapa mereka tidak bersungguh-sungguh pula dalam memperbaiki pemerintahan? Bila para menteri memperlakukan sesama menteri dengan adat istiadat kesopanan pergaulan istana, mengapa mereka tidak memperlakukan rakyat yang merupakan tulang punggung negeri dengan cara yang sama. Konfusius mengajarkan pada muridnya untuk memperlakukan setiap orang dimana saja, seolah-olah sedang menerima tamu penting, dan apabila menjadi seorang pegawai pemerintahan ia hendaknya memimpin rakyatnya seolah-olah sedang menyelengggarakan upacara pengorbanan besar-besaran pada leluhur .
Lebih jauh lagi ketika seorang muridnya bertanya mengenai apakah hakikat li itu, Konfusius menjawabnya sebagai berikut:
Ini pertanyaan penting! Sehubungan dengan masalah upacara, seandainya seseorang dalam salah satu aspeknya terpaksa berbuat kesalahan, maka kesalahan itu lebih baik berupa sikap terlalu hemat daripada terlalu boros. Pada upacara pemakaman serta perkabungan, mereka yang berkabung lebih baik benar-benar merasa sedih, daripada terlampau mementingkan segala sesuatunya hinggga ke hal yang sekecil-kecilnya .
Konfusius di dalam Lunyu berangggapan bahwa Li dan kebajikan itu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Konfusius menerangkan kepada mmuridnya YanYuan mengenai definisi kebajikan sebagai berikut:” menguasai diri serta mengikuti adat istiadat artinya adalah berbuat baik. Jika tidak sesuai dengan adat istiadat jangan didengarkan, jika tidak sesuai dengan adat istidat jangan diucapk, jika tidak sesuai dengan adat istiadat jangan dilakukan.” Ketika membahas kewajiban seorang anak, Konfusius menjelaskan, “selama orang tuamu masih hidup, taatilah adat istiadat dalam mengasihi mereka; setelah mereka meningggal, taatilah adat istiadat dalam menguburkan mereka; Meskipun sangat menghormati adat istiadat, tetapi Konfusius juga mengajarkan agar kita jangan terikat padanya, di mana ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah ragu untuk menyimpang dari tata krama yang sudah diterima oleh tradisi, asalkan penyimpangan itu dilakukan dengan alasan yang masuk akal dan sopan santun. Kita disini dapat melihat bahwa selain membicarakan tentang ren,  Konfusius juga membahas mengenai adat istiadat (li). Karena keduanya merupakan hubungan yang amat penting dalam membina kebajikan. Konfusius telah memperluas makna li dari sekedar aturan upacara dan tata krama serta peraturan yang remeh-temeh menjadi suatu tata krama yang lebih universal.
Konfusius merupakan seorang filosof yang enggan membicarakan hal-hal metafisik dan lebih menekankan pembahasan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup di dunia. Kita akan mengutip tanya jawab berikut ini antara Konfusius dan seorang muridnya:
Seorang murid lain bertanya bagaimana seharusnya seseorang berbakti kepada arwah nenek moyang. Konfusius menjawabnya, “engkau sendiri masih belum sanggup berbakti kepada arwah leluhur?” murid tersebut lalu bertanya mengenai kematian, tetapi Konfusius menjawab,”engkau sendiri belum memahami kehidupan, bagaimana mungkin memahami kematian?” 
Jadi, Konfusius mengajarkan muridnya untuk lebih dahulu memahami kehidupan dan hubungan sesama manusia sebelum membahas hal-hal metafisika. Sebaliknya, Konfusius malah mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam batasan –batasan tertentu (meskipun tidak selamanya demikian)  manusia dibentuk oleh masyarakat, dan sebaliknya pada sisi lain, masyarakat juga dibentuk oleh orang yang membentuknya. Sehinggga kita boleh mengatakan bahwa ada interaksi timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Konfusius berpendapat bahwa seseorang hendaknya tidak menarik diri dari massyarakat ataupun bersikap membabi buta mengikuti apa yang diangggap benar oleh khalayak ramai. Ia mengatakan bahwa manusia bermoral hendaknya tidak menyia-nyiakan hidupnya, melainkan harus tetap bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat lainnya untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Sebagai ahli filsafat pada zamannya Konfusius juga membicarakan apa yang dinamakan dengan dao. Kata ini sendiri dapat diterjemahkan sebagai “jalan” atau “cara”. Sebelum masa hidup Konfusius, kata dao  dipakai dalam artian jalan secara harfiah atau cara berperilaku seseorang yang dapat berupa sesuatu yang baik ataupun buruk. Berbeda dengan para penganut Daoisme yang akan kita bahas kemudian, Konfusius menggunakan dan mengartikan dao bukan dalam artian mistik, melainkan sebagai suatu jalan yang harus diikuti umat manusia agar mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagaimana halnya li yng mencakup adat istiadat dan tata krama, dao ada satu pihak berisikan hukum kesusilaan yang hendaknya ditaati seta pola pikir yang dapat mengembangkan kepribadian setiap orang.
Sehubungan dengan bidang pemerintahan, Konfusius mengatakan bahwa pemerintahan harus ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Hal ini hanya dimungkinkan bila pemerintahan dikelola oleh orang-orang yang cakap dan tidak ada sangkut pautnya dengan kekayaan atau keturunan. Kecakapan memerintah itu dapat diperoleh melalui pendidikan yang tepat. Oleh karena itu, Konfusius menekankan pentingnya menyebarluaskan pendidikan, sehingga orang berbakat dari kalangan rakyat dapat dipersiapkan untuk menduduki pemerintahan sehingga mendorong kesejahteraan dan kemakmuran negara.
2.1.4 Mengzi (Mensius)
Mengzi adalah salah satu tokoh penting Konfusianisme yang lain, yang hidup antara tahun 372-289 SM. Ia mewariskan pada kita sejilid kitab yang diberi judul namanya sendiri. Ada sumber sejarah yang mengatakan bahwa Mengzi pernah belajar pada cucu Konfusius bernama Zisi. Mengzi pernah memberikan saran kepada para raja, seperti raja Xuan dari Qi dan Raja Hui dari liang. Mengzi memiliki keyakinan bahwa manusia pada dasarnya baik, sehingga tujuan pembinaan yang diberikan pada mereka adalah mengembalikan sifat aslinya itu. Kebaikan asli ini dapat berkembang baik atau justru terhambat perkembangannya. Namun pada dasarnya, kebaikan ini telah ada dalam diri kita semenjak lahir.
Mengzi juga memliki sumbangsih penting dalam bidang demokrasi, sebagaimana yang tercantum dalam kitab karyanya ( buku VII bagian 2, buku XIV bagian 1) berikut ini:
Rakyat adalah bagian yang paling penting.... dan penguasa adalah bagian yang paling terakhir kepentingannya.
Berdasarkan kutipan di atas, jelas sekali bahwa menurut Mengzi pemerintah hendaknya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya. Prinsip demokratis kedua yang diajarkan Mengzi adalah keseteraan umat manusia. Ia mengatakan dalam buku VI bagian 1 dan buku VII bagian 2:
Manusia bijaksana adalah manusia biasa yang sama dengan kita semua
    Selanjutnya, aturan mengenai kenaikan jabatan dan juga hukum yang berlaku, hendaknya tidak didasari oleh keputusan para pejabat saja, melainkan oleh suara rakyat banyak (buku I bagian 2 dan buku VII bagian 4-5). Pemerintahan yang baik hendaknya ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat (buku I bagian 1). Bahan Mengzi juga mengajarkan bahwa penguasa yang zalim boleh digulingkan oleh rakyat ( buku  I bagian 2 dan buku VIII bagian 3).
    Selain itu, masih banyak lagi ide-ide demokratis Mengzi yang tercantum dalam kitabnya itu. Sehingga boleh dikatakan bahwa bangsa China telah mengenal paham demokrasi sejak lama.


2.2 Para Ahli Filsafat Daois
    2.2.1 Laozi
    Perbedaan utama antara Konfusius da Laozi adalah dalam segi riwayat hidupnya yang masih diselubungi kegelapan sejarah. Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai riwayat hidup ahli filsafat yang bernama asli Li Er ini. Sejarawan terkemuka China bernama Sima Qian yang menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, mengatakan bahwa Laozi berasal dari desa Churen, provinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibukota Loyang dari kerajaan Chu. Marga Laozi adalah Li, sedangkan nama panggilannya adalah er. Ia sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Zhou. Sebagai seorang ahli perpustakaan, ia memiliki keempatan untuk membaca literatur-literatur klasik sehingga pada akhirnya juga dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang perbintangan serta peramalan.
    Tatkala usianya telah lanjut, Laozi mengundurkan diri dan pekerjaannya sebagai ahli perpustakaan kerajaan untuk mengasingkan diri. Saat hendak meninggalkan ibukota, seorang penjaga gerbang bernama lin Yixi menghentikan langkahnya, serta meminta agar dituliskan sebuah kitab. Permintan ini diluluskan Laozi. Ia menuliskan sejilid kitab singkat yang hanya terdiri dari 5000 huruf Thionghoa dan setelah itu menyerahkannya pada sang penjaga gerbang. Laozi meninggalkan ibukota dan tidak pernah terdengar kembali kabar beritanya. Kitab singkat yang berjudul  Daodejing  itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan bagi para penganut Daoisme.
    Berbeda dengan penganut Konfusianisme, dao menurut Daodejing  diartikan secara metafisik, yakni sebagai bahan dasar penyusun segala sesuatu. Dao bersifat sederhana dan tanpa bentuk, tanpa keinginan, tanpa nama, serta tanpa gerakan ataupun daya upaya. Dao ini telah ada sebelum adanya langit dan bumi. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh diri manusia dari dao, semakin berkuranglah kebahagiannya. Daodejing  mengatakan:
    Dao bagaikan bejana yang meskipun hampa
    Dapat ditimba tanpa hingga
    Dan tiada berguna untuk mencoba mengisinya
    Begitu luas dan dalamnya
    Hingga tampak sebagai yang tertua dari yang ada
    Bila terbenam di dalamnya, ujung yang paling tajam akan menjadi rata
    Masalah tersulit akan sirna
    Cahaya gemilang penebar kebahagiaan
    Segala yang tak mungkin kembali menjadi sesuatu yang sederhana
    Ia adalah setenang alam kematian
    Aku tak mengetahui putra siapakah ia.
    Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dao bagi penganut daoisme merupakan sesuatu yang asli sebelum tercemari oleh pikiran-pikiran bentukan manusia. Karena bersifat asli, ia bersifat alami pula dan bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikin, orang yang menjalankan dao akan menghindari banyak lagak dan mementingkan kesederhanaan serta kewajaran. Kitab Daodejing mengajarkan kembali bagaimana cara hidup sederhana secara wajar:
    Sepuluh ribu hal telah terjadi
    Dan kusimak semuanya kembali
    Betapa pun terjadi kesemarakan yang semakin tinggi
    Masing-masing pada akhirnya akan berpulang pada kondisi asli
    Kembali pada kondisi asli ini berarti mencapai kedamaian abadi
Itulah kedemikianan segala sesuatu
Kedemikianan itu merupakan suatu pola tanpa akhir
Memahami pola tanpa akhir itu berarti mencapai pencerahan
Barang siapa yang tak memahaminya akan kering dan layu oleh musibah
Yang mengenal pola abadi ini akan mencakup segalanya
Mencakupi segalanya dengan sikap adil sempurna
Adil sempurna menjadikannya penguasa
Seorang penguasa menjadi sama dengan para dewa
Serupa degan para dewa berarti sejalan dan sehati dengan dao
Sejalan dan sehati dengan dao berarti satu dengan dao itu sendiri, ia tak terbinasakan
Meskipun tubuhnya dapat lenyap ditenggelamkan samudera kehidupan
[tetapi] akanlah luput dari segenap gangguan .
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Dao mengajarkan manusia untuk menyelaraskan diri dengan hukum hakiki alam semesta. Terlalu memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar jangkauannya adalah suatu kesalahan.
   
2.2.2 Zhuangzi dan Liezi
Setelah zaman Laozi, terdapat banyak ahli filsafat terkenal lainnya yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan Daoisme seperti Zhuangzi, Daoisme memasuki tahapan baru. Terdapat perbedaan ajaran-ajaran mereka dengan daoisme yang lebih awal ataupun filsafat yang terdapat dalam Daodejing.
Sebelumnya, keterlibatan seseorang di dalam politik masih dimungkinkan, namun Zhuangzi dan Liezi mengajarkan bahwa seseorang suciawan mustahil untuk terlibat dalam politik. Pengertian wuwei (secara harfiah berarti “tidak berbuat”) berubah menjadi “tidak terlibat” ataupun “membiarkan sesuatu sebagaimana adanya”. Para suciwan tidak lagi memedulikan hal-hal duniawi. Orang awam terperangkap dalam kemashyuran serta keewahan, tetapi sebaliknya para suciwan menghindarinya, sehingga mereka benar-benar terbebas dari segenap permasalahan duniawi.
Perbedaan berikutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, dao menurut daodejing adalah kekuatan yang baik. Namun, Zhuangzi dan Liezi memandang dao sebagai kekuatan yang bersifat netral. Ia masih merupakan dasar bagi keberadaan segala sesuatu, tetapi tidak lagi merupakan suatu kekuatan yang bajik. Lebih jauh lagi, menurut keduanya, dao tidak lagi memegang atas kendali atas segala sesuatu pun yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Terlepas dari semua perbedaan tersebut, ajaran Zhuangzi dan Liezi masih memiliki banyak kesamaan dengan ajaran daoisme dari periode sebelumnya. Dao masih dipandang sebagai sesuatu yang tak bernama, tanpa bentuk, serta tak dapat dipahami dengan rasio manusia biasa. Mereka yang dapat memahami hakikat dao beserta cara bekerjanya adalah orang yang tercerahi.
Di dalam daodejing, dao dipandang sebagai asal-muasal segala sesuatu. Zhuangzi mengolah kembali pandangan ini dengan mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki asal-muasal yang sama. Tidak ada sesuatu pun yang lebih berharga dibandingkan yang lainnya. Begitu pula manusia tidak lebih berharga dibandingkan hewan. Selain mengajarkan prinsip kesetaraan segala sesuatu ini, Zhuangzi juga mengajarkan bahwa hidup ini mengalami transformasi yang terus menerus dari dao.
Zhuangzi mewariskan pada kita sebuah kitab yang diberi judul namanya sendiri, yakni kitab Zhuangzi. Kitab ini memiliki judul lain yang berbunyi nanhua zhenjing (kitab klsik kemurnian dari nanhua). Di dalamnya juga terdapat pandangan shamanistik mengenai para suciwan, misalnya dikatakan bahwa mereka dapat terbang ke langit, berbicara dengan hewan, serta memiliki kekuatan-kekuatan atas unsur-unsur alam. Sedangkan Liezi meninggalkan sebuah kitab yang juga diberi judul sesuai dengan namanya.
Zhuangzi dikatakan lahir di China bagian tengah yang kini terletak di provinsi Henan serta mempunyai jabatan rendah dalam pemerintahan. Hanya sedikit riwayat yang kita kenal mengenai dirinya. Kitab hasil karyanya itu terdiri dari 33 bagian, yang masih dibagi lagi menjadi bagian” luar” dan “dalam”. Bagian “dalam” meliputi tujuh bagian pertama. Sebagian besar di antara tujuh bagian pertama ini dianggap autentik oleh para ahi, sedangkan bagian selanjutnya diduga sebagian besar palsu. Zhuangzi mengajarkan relativitas dari segala sesuatu, sebagaimana yang tampak dari kutipan menarik kitab zhuangzi berikut ini:
Suatu kali, aku, Zhuang Zhou (nama pribadi Zhuangzi, penulis), bermimpi bahwa aku menjadi kupu-kupu dan merasa bahagia sebagai kupu-kupu. Aku merasa sadar bahwa aku merasa cukup puas dengan diriku sendiri, namun aku tidak mengetahui bahwa aku adalah zhou. Aku tidak tahu apakah zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah sang kupu-kupu yang bermimpi menjadi zhou. Antara zhou dan kupu-kupu pastilah terdapat perbedaan. Inilah yang disebut transformasi segala sesuatau.
Relativitas segala sesuatu ini makin ditegaskan pada kutipan berikut ini:
    Bila seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun, ia akan merasa bahwa punggungnya sakit....namun apakah hal yang sama berlaku pada seekor belut? Jika seseorang mencoba untuk berdiam di atas pohon, maka ia akan pingsan karena ketakutan.namun, apakah hal yang sama berlaku pada seekor monyet? Di antara ketiga hal ini, manakah yang mengetahui habitat yang (paling) benar untuk hidup?manusia makan daging, rusa makan rumput, kelabang menyukai ular, burung hantu dan burung gagak memakan tikus. Dapatkah anda mengatakan manakah makanan yang (paling) benar diantara keempat makhluk ini?....orang memandang Mao Chiang dan Li Ji sebagai wanita-wanita tercantik, tetapi begitu melihat mereka, ikan-ikan menyelam jauh ke dalam air (untuk menyembunyikn diri) dan sementara itu burung-burung lari beterbanagan...(lalu jika demikian), manakah tolak ukur yang benar mengenai kecantikan? .
    Sebagaimana ajaran yang terkandung dalam daodejing, Zhuangzi juga mengatakan bahwa memaksa mengusahakan sesuatu di luar kemampuan kita adalah suatu kekeliruan. Ia mengatakan:
    Mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan.
    Sikap untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam melakukan sesuatu ini mendorong timbulnya gerakan pertapaan bagi kaum daois, dimana hal ini ditentang oleh penganut Konfusianisme yang mengajarkan diri untuk tidak menarik diri dari masyarakat.
    Kini kita akan mengutip sedikit ajaran Liezi:
    Tak ada seorang pun yang berusia lebih dari seratus tahun, dan tidak ada satu dari seribu orang yang dapat mencapai usia seratus. Dan bahkan orang yang satu ini menghabiskan setengah dari kurun waktu kehidupannya sebagai anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang pada siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu semua, ia masih didera oleh rasa sakit, penyakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran, serta ketakutan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih, boleh dikatakan bahwa tidak sampai satu jam seseorang dapat merasakan kedamaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya, tanpa diganggu oleh rasa cemas.
    (bila demikian) untuk apakah manusia hidup? Apakah kesenangan yang dapat diperoleh dari kehidupan itu?apakah kita hidup untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Apakah untuk menikmati keindahan suara dan warna semata?bukankah ada saatnya ketika keindahan dan kekayaan tidak lagi memenuhi kesenangan hati, dan ada pula saatnya ketika suara dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga serta mata.
    Apakah kita hidup agar ditakut-takuti sehingga tunduk pada hukum dan kadang-kadang bertindak nekad (melawan hukum) karen didorong oleh upah atau ketenaran? Kita merusak diri sendiri dengan berusaha mati-matian merangkak ke atas, sambil berusaha untuk mereguk pujian dangkal yang diperdengarkan satu jam semata. Mencari akal untuk menemukan bagaimana caranya nama baik kita tetap dikenang setelah kematian. Kita bergerak melintasi dunia dalam suatu celah sempit yang penuh dengan berbagai hal remeh yang kita lihat serta dengar, sambil berpikir berdasarkan prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, tanpa menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya.
    Orang di zaman dahulu menyadari bahwa kehidupan dan kematian datang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengingkari salah satupun dari keinginan-keinginan alami mereka, dan tidak pula menekan satupun di antara hasrat-hasrat mereka. Mereka menyimak melalui kehidupan, sambil memperoleh kesenangan yang digerakkan oleh detak jantung mereka. Karena  pula tidak memedulikan nama serta pujian, cepat atau lambat, usia panjang atau pendek.... 
    Ungkapan Liezi di atas mengajak umat manusia untuk merenungkan hakikat kehidupan mereka. Manusia telah lahir dalam suatu dunia yang tidak ikut diciptakannya sehinggga tidak dapat dipahaminya secara penuh. Hal ini diperberat lagi oleh belenggu-belenggu kewajiban serta ketakutan. Manusia masih membebani dirinya dengan tuntutan pada diri sendiri agar melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Kita dapat menyimpulkan bahwa intisari dari ajaran ini adalah anjuran untuk menghilangkan segenap kecemasan, menghadapi hidup sebagaimana adanya, dan tidak terperangkap oleh hal-hal yang tidak bermanfaat.

            2.2.3 Perbedaan Pandangan Lain Antara Daoisme dan Konfusianisme
Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam hal keahlian. Untuk memperjelas hal ini, kita akan mengutip apa yang diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:
Ada kata lain bagi keadilan (justice) atau hukum. Dalam bahasa Tionghoa, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak korban persembahan. Dalam peradaban Cina kuno, kaisar menuliskan hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga ketika korban dibawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian, penasehat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya, dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan sebuah undang-undang ( khususnya undang-undang pajak) semua penasehat hukum berkumpul dan mencari celah untuk melanggarnya. Mereka mengatakan,”undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin menerbitkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois menertawakan mereka dan berkata, “Jika anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa anda mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?” sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika anda membicarakan beragam hakim dengan penasehat hukum manapun, ia akan berkata, “hakim smith lebih mengacu pada hukum secara harfiah, namun hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai kecenderungan untuk “bermain sportif”, dan figur itulah yang dipercaya oleh hakim.”
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti “keadilan” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme mengatakan bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata. Menurut hemat penulis, kedua-duanya tidak ada yang salah. Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki hukum. Jadi, semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.


2.3 Aliran Legalisme (Fajia)
    Aliran Legalisme (fajia) adalah aliran yang menitikberatkan pada sistem pemerintahan. Para penganut fajia banyak yang mengabdikan dirinya pada kerajaan Qin, seperti Shang Yang, dan kemudian Han Feizi serta Li Si yang mengabdi pada kaisar Qin Shihuangdi.
Dalam kitab Han Feizi, diterangkan secara gamblang bahwa kaum moralis (yang diwakili oleh kaum Konfusius) mustahil cocok dengan kaum legalis. Pemikiran ini dapat dianalogikan dengan kisah tombak sakti yang sanggup menembus segalanya dan perisai sakti yang tidak dapat ditembus oleh apapun.
    Fajia dipopulerkan oleh Xunzi (Xun Qing) dan banyak penganut Konfusianisme yang beralih pada legalisme karena beranggapan bahwa aliran filosofi ini lebih cocok untuk mengatur negara. Zi Xia dan Wuzi (Wu Qi) adalah dua contoh penganut Konfusianisme yang kemudian berpindah menganut legalisme. Wu Qi adalah salah seorang tooh menarik dari negeri Lu yang hidup pada masa perang antar negeri. Saat masih kanak-kanak, ia lari dari rumah karena ditegur ibunya akibat bertingkah ceroboh. Ia bersumpah tidak akan pulang kerumah sebelum berhasil menjadi panglima tertinggi atau perdana menteri. Wu Qi pernah pula diusir oleh gurunya karena dianggap kurang berbakti pada orang tua, yakni tatkala ibunya meninggal,  ia hanya menangis sebentar dan setelah itu kembali menekuni bukunya seoalah-olah tidak terjadi suatu apapun. Suatu ketika negeri Lu diserang oleh Qi, tetapi raja masih ragu-ragu untuk mengangkat Wu Qi sebagai panglima tertinggi karena isterinya masih kerabat raja Qi. Demi memperoleh jabatan yang didambakannya itu, Wu Qi memenggal kepala isterinya dan mempersembahkannya pada raja Lu. Sang raja sebenarnya kurang begitu senag dengan tindakan Wu Qi ini, tetapi ia menyadari orang seperti Wu Qi sangat mungkin akan membelot ke pihak lain bila tidak mendapat apa yang diinginkannya. Raja kemudian mengangkatnya sebagai panglima tertinggi dan ternyata Wu Qi memang berhasil membuktikan kemampuannya memukul mundur serbuan Qi. Namun, tokoh eksentrik yang terbiasa membangkitkan kemarahan majikannya ini pada akhirnya harus hengkang ke negeri lain. Mula-mula ia pergi ke negeri  Wei dan setelah itu Chu. Raja Chu Daowang mengangkatnya menjadi perdana menteri dan Wu Qi melakukan berbagai reformasi, seperti:
•    Mendasarkan pemerinth atas hukum yang kuat.
•    Merampingkan birokrasi
•    Penghapusan  pewarisan gelar bangsawan setelah keturunan yang ketiga dan mengalihkannya pada para prajurit yang telah berjasa bagi negara.
Sebagai hasil reformasi Wu Qi itu, Chu dengan segera menjadi negara yang kuat dan ditakuti. Tetapi, ketika raja mangkat, para bangsawan yang kehilangan gelarnya memanfaatkan hal itu untuk balas dendam. Para bangsawan mulai masuk ke istana dan mengejar Wu Qi hingga ke kamar-kamar istana. Dengan keadaan terluka parah, Wu Qi masuk ke ruangan tempat jenazah almarhum raja ditempatkan dan memeluknya erat-erat, sehingga akhirnya tubuh sang raja juga tertancap anak panah. Tindakan Wu Qi ini mungkin sulit dimengerti. Namun, segalanya akan menjadi jelas tatkala kita meninjau kembali undang-undang yang sebelumnya pernah dibuat oleh Wu Qi, yang menyatakan bahwa barang siapa yang merusak tubuh raja dapat dikenai hukum mati. Pengganti raja Chu menjalankan undang-undang ini dan menghukum mati para bangsawan itu, demikianlah, Wu Qi berhasil membalaskan dendam kematiannya sendiri bahkan ketika ia sudah wafat.
Secara umum, legalisme membahas 3 faktor pokok dalam seni memerintah.
•    Fa atau hukum ( pemberian penghargaan dan hukuman)
•    Shu atau seni/teknik mengawasi
•    Shi atau wewenang / kekuasaan
Prinsip ini tetap digunakan oleh Liu Bang, pendiri dinasti Han (yakni dinasti yang memerintah setelah Qin) meskipun pada dasarnya ia menganut Konfusianisme. Kita dapat melihat bahwa sistem manajemen modern juga menerapkan prinsip-prinsip ini. Penerapan fa atau hukum dalam perusahaan, dapat berwujud aturan perusahaan, kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Seni pengawasan atau shu pada perusahaan modern adalah berupa sistem supervisi yang rapi. Dan pemantauan kualitas (quality control) termasuk di dalamnya. Kekuasaan atau wewenang (shi) pada manajemen modern dapat diwujudkan dalam bentuk sistem atau hierarki manajerial perusahaan. Penetapan struktur organisasi perusahaan adalah wujud pengaturan kekuasaan atau wewenang ini.
Kerajaan Qin memang dapat dikatakan sebagai penganut fanatik paham legalisme. Perdana menteri Li Si yang membantu Qin Shihuang ( Ying Zheng) juga penganut fajia. Han Feizi, rekan Li Si, sama-sama penganut legalisme. Hanya saja karena iri dengan karier rekannya itu, Li Si memfitnah Han Feizi hingga dijatuhi hukuman mati.


2.4 Mozi
    Mozi (480-390 SM) hidup kurang lebih 60 tahun setelah Konfusius. Ia hidup pada masa perang antar negeri yang merupakan zaman peperangan serta kekacauan, sehingga filsafatnya yang diajarkannya itu merupakan reaksi terhadap situasi peperangan yang mengamuk pada masa itu. Ia mengatakan bahwa usaha untuk mencapai kemenangan dalam perang, pengumpulan kekayaan, pengembangan kekuatan perang, serta peperangan itu sendiri, hanyalah semata-mata bentuk lain dari perampokan. Untuk mengatasi keadaan kacau itu, ia menawarkan beberapa cara, seperti mengembangkan rasa cukup yang ideal, melaksanakan peraturan dengan disiplin, serta membangkitkan rasa takut atau segan terhadap para dewa. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa mozi seseorang yang sangat menentang perang dan menekankan perdamaian.
    Karena menganggap bahwa penyebab peperangan tanpa henti pada masanya itu bersumber pada sikap mementingkan diri sendiri, Mozi menganjurkan sikap altruistik (jianai) yang terbebas dari pola pikir egoistik. Untuk menghindari perang atau menyerang negara lain secara tidak adil, para pengikut Mozi berikrar untuk hidup dalam pengasingan serta kemiskinan.
    Peninggalan Mozi adalah sebuah kitab yang berjudulkan namanya sendiri. Isinya antara lain membahas berbagai tema seperti “ menentang agresi”,”kehendak langit”, “mengenai keberadaan para dewa”, dan lain sebagainya. Yang menarik untuk dicatat dari kitab itu adalah  untuk dicatat dari kitab itu adalah penentangannya terhadap musik:
    Apakah yang menyebabkan penguasa melalaikan pemerintahan dan orang kebanyakan melalaikan pekerjaannya ?Musik! Karenanya, kata Mozi, memainkan musik adalah sesuatu yang salah.
    Ini tentu saja berbeda dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa:
    Musik menimbulkan kesenangan, yang tanpanya kodrat manusia tidak dapat tampil.
    Mozi juga banyak memberikan berbagai kritikan terhadap ajaran Konfusianisme, seperti yang tercantum dalam bab 39 kitab karyanya itu/;
    Suatu ketika, Konfusius beserta sahabat-sahabatnya mengadakan perjalanan dari Cai ke Chen, di mana mereka mengalami kesulitan karena kehabisan bahan makanan. Mereka hanya makan sup sayur tanpa nasi. Sepuluh hari kemudian, Zi Lu memakan daging babi. Konfusius tidak menanyakan dari mana daging babi itu diperolehnya dan memakannya. Zi Lu merampok pakaian seseorang dan menukarnya dengan anggur. Konfusius tidak menanyakan darimana ia memperoleh anggur itu dan meminumnya. Namun, ketika raja Ai menjamunya, tidak bersedia duduk dan tidak mau makan daging yang tidak disajikan sebagaimana mestinya. Zi Lu menemuinya dan bertanya, “ mengapa anda berbuat demikian? Mengapa berbeda dengan yang Anda lakukan saat kita berada di perbatasan negeri Chen dan Cai? Konfusius menjawab” Aku akan memberitahumu. Waktu itu tujuan kita adalah untuk bertahan hidup. Sekarang tujuan kita adalah berbuat baik.”
    Mozi memberikan komentarnya:
    Jadi ketik lapar, ia tidak peduli akan cara mempertahankan kehidupan, dan ketika kenyang ia berbuat seolah-olah berbudi. Betapa dungu, munafik, jahat, dan  palsunya perubatan semacam ini.
    Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Mozi tidak setuju dengan pandangan Konfusius bahwa orang boleh melakukan apa saja bila tujuannya untuk mempertahankan hidup. Terlepas dari semua itu, pengaruh Mozi dalam dunia filsafat Tionghoa tidaklah begitu besar serta tidak sebanding dengan pengaruh Konfusius.

2.5 Filsafat Perang Sunzi
    Dewasa ini, telah banyak karya-karya yang ditulis mengenai filsafat perang Sunzi (abad ke 6 SM), dimana ini menunjukkan bahwa filsafat Sunzi tidak hanya dapat diterapkan pada zaman dahulu saja atau dalam peperangan saja, melainkan juga dalam manajemen modern telah banyak buku-buku yang ditulis mengenai aplikasi kiat-kiat strategi Sunzi ini pada dunia bisnis dewasa ini.
    Sunzi menulis sebuah kitab yang berjudul Sunzi Bingfa atau Kitab Seni Perang Sunzi. A menjelaskan kepada raja Wu Helu (514-496SM) mengenai keampuhan siasat ini. Raja yang tdak percaya begitu saja memerintahkan Sunzi untuk membuktikan ucapannya itu. Sunzi mengatakan bahwa ia sanggup melatih wanita dan anak-anak menjadi tentara yang tidak terkalahkan. Raja Wu lantas memanggil 180 gadis istana, yang dibagi menjadi 2 barisan dengan dua orang selir kesayangan Kaisar sebagai komandannya. Sunzi menjelaskan pada mereka gerakan-gerakan yana harus dilakukan berdasarkan bunyi tambur tertentu. Tetapi, keika tambur ditabuh yang artinya memerintahkan mereka untuk berbalik kanan, para wanita malah tertawa terkekeh-kekeh. Meskipun telah diberi penjelasan berulang-ulang, mereka belum dapat berlaku serius. Untuk mengatasi kesembronoan itu, Sunzi memerintahkan pemenggalan kepala dua orang selir kesayangan raja karena dianggap gagal melaksanaan tugasnya sebagai komandan dan mengangkat dua orang lainnya sebagai pengganti mereka. Sebagai hasilnya, kedua barisan wanita itu kini bersedia mematuhi isyarat tambur dengan baik, layaknya prajurit sungguhan yang tangguh. Meskipun demikian, raja menjadi murung karena kehilangan dua orang selir kesaayangannnya itu. Karenanya, Sunzi berkata pada raja, bahwa sang raja hanya menyukai kata-kata yang tertulis dalam kitabnya saja, tetapi tidak tahan untuk melaksanakannya. Mendengar ucapan itu, akhirnya raja mengangkat Sunzi sebaga panglima tertinggi. Kearah barat, Sunzi memimpin pasukan mengalahkan kerajaan Chu, sedangkan di utara ia menimbulkan kegentaran pada negeri Qi dan Jin. Dengan segera Wu dapat menjadi negara yang disegani pada masa itu.
    Kitab Sunzi Binfa terdiri dari 13 bab ang masing-masing membahas tentang beberapa aspek keterangan, seperti perencanaan, menggerakkan peperangan, muslihat dan taktik dalam perang, penggunaan mata-mata, dan lain sebagainya. Sunzi mengajarkan pentingnya perencanaan sebagaimana yang dijabarkannya dalam bab I :
    Seni berperan sangat penting karena hal itu erupakan masalah hidup atau
matinya suatu negara, jalan yang menuntun pada keselamatan atau
kehancuran.

Perang adalah masalah krusial sehingga kita perlu merencanakannya secara matang. Perencanaan yang baik hanya dapat terlaksana bila kita mengenali kondisi diri sendiri dan musuh. Untuk mengenal kondisi diri sendiri dan musuh, Sunzi membabarkan pada kita daftar pertanyaan yang perlu kita cermati sebelum merencanakan peperangan :
1. pihak manakah yang mendasarkan segenap tindakannya pada hukum
    moralitas?
2. pihak manakah yang pemimpinnya memiliki kemampuan lebih?
3. pihak manakah yang memperoleh keuntungan langit dan bumi? Maksud    
    langit dan bumi adalah dukungan medan serta cuaca.
4. pihak manakah yang menerapkan disiplin lebih tepat?
5. pihak manakah yang lebih kuat?
6. pihak manakah yang para perwira dan prajuritnya terlatih lebih baik?
7. pihak manakah yang memberlakukan pemberian hukuman dan hadiah
    secara lebih baik?

Sunzi mengatakan bahwa dengan mempertimbangkan itu di atas dapat diperkirakan pihak mana yang akan mencapai kemenangan. Ia menambahkan lagi:
Panglima yang akan memenangkan pertempuran adalah yang membuat perencanaan dalam kemahnya sebelum dilangsungkannya peperangan. Pimpinan pasukan yang kalah alam suatu peperanga adalah karena kurangnya membuat perencanaan.

    Nasehat diatas tidak hanya relevan dalam peperangan saja, melainkan juga dalam dunia bisnis dan manejemen modern. Segala sesuatu memang memerlukan perencanaan yang matang meskipun kitabnya membahas tentang seni berperang, namun sesungguhnya Sunzi sendiri lebih menghargai peramaian :
    Oleh karena itu, mereka yang lahir dalam seni berperang menunjukkan pasukan musuh tanpa berperang merebut kota musuh tanpa pengepungan, serta menghancurkan negara musuh     tanpa memerlukan waktu yang berlarut-larut. Anda hendakny dapat merebut kemenangan secara utuh, yakni dengan tanpa menumpahkan darah. Inilah yng dinamakan seni menyerang dengan siasat.

Berdasarkan kutipan diatas, Sunzi lebih menghargai kemenangan yang diperoleh tanpa pertumpahan darah. Sejarah membuktikan bahwa kemenangan tidak hanya diperoleh melalui peperangan saja melainkan juga dengan melalui meja perundingan atau diplomasi. Iniah salah satu kelebihan filsafat Sunzi dibandingkan dengan ahli strategi militer dunia lainnya. Suni juga mengajarkan bahwa prajurit musuh yang sudah menyerang hendaknya diperlakukan dengan baik:
Perlakukanlah dan peliharalah dengan baik prajurit musuh yang berhasil ditawan .

Ini memperlihatkan nilai kemanusiaan yang besar dalam filsafat perang Sunzi. Pihak musuh yang ditawan hendaknya diperlakukan dengan baik dan tidak di siksa.
Kitab Seni Perang Sunzi ini dilestarikan oleh keturunannya yang bernama Sun Bin. Ini adalah panglima perang negeri Wei, salah satu diantara ngara terkuat selama ini masa perang antar negeri. Pang Juan, panglima perang Wei, sangat iri dengan kecerdikan Sun Bin dan merencanakan untuk menyingkirkannya. Ia memalsu sepucuk surat, yang isinya seolah-olah menyatakan bahwa Sun Bin hendak membelot ke negara asalnya, Qi. Selanjutnya, ia meyakinkan sang raja bahwa Sun Bin memang benar-benar hendak berkhianat. Raja mempercayai hal itu dan menyerahkan Sun Bin padanya untuk dihukum. Tetapi, Pang Juan masih memiliki niat lain, ia ingin agar Sun Bin menuliskan kembali kitab Seni Perang itu baginya. Untuk itulah, Pang Juan pura-pura besikap baik pada Sun Bin. Ia pura-pura terkejut atas penangkapa Sun Bin dan berjanji untuk memohon pada raja agar tidak menjatuhka hukuman mati. Atas bujukan Pang Juan, hukuman mati diganti dengan pencungkilan tempurung lutut dan selain itu, wajah Sun Bin di tato dengan tulisan : “penghianat“. Sun Bin merasa berhutang nyawa kepada Pang Juan dan setuju untuk menuliskan kembali kitab tulisan leluhurnya itu. Tetapi, seorang pelayan merasa iba pada Sun Bin dan membocorkan seluruh perbuatan dan niat jahat Pang Juan. Oleh karena itu, Sun Bin berpura-pura gila sehingga Pang Juan memasukkannya ke kandang babi. Akhirnya, Sun Bin berhasil di selundupkan ke negeri Qi oleh seorang utusan yang berpura-pura mengirimkan upeti berupa teh. Raja negeri Qi menawarkan jabatan pada Sun Bin yang ditampiknya dengan mengatakan bahwa ia akan mengabdi bila saatnya tiba.
Beberapa tahun kemudian, barulah sun bin bersedia mengabdi pada negeri Qi. Kala itu, Wei mengirim Pang Juan untuk menyerbu negeri Zhao. Pihak Zhao lalu meminta tolong pada Qi. Sun Bin ternyata tidak menghadapi serbuan pang Juan secara langsung, melainkan mengalihkan perhatian dengan menyerang ibu kota Wei yang dilanjutkan dengan penghadangan terhadap rute perjalanan pulang pasukan Pang Juan. Raja wei dengan segera memanggil pulang Pang Juan untuk mempertahankan ibu kota terhadap serangan pasukan Qi yang dipimpin Sun Bin. Pasukan Wei sejumlah 20.000 orang jatuh ke dalam perangkap ini dan Pang Juan nyaris tidak dapat meloloskan diri.
Akhir hidup Pang Juan di tangan Sun Bin baru terjadi beberapa tahun kemudian, saat Qi menyerang Wei untuk membantu negara tetangga lainnya. Sun Bin berusaha menjebak pasukan Wei yang dipimpin oleh Pang Juan dengan berpura-pura kalah. Pang juan terpancing jebakan itu dengan terus mengejar mereka hingga ke lembah Malingdao yang sempit. Kala itu, hari telah malam dan pasukan Wei dilanda keletihan dan kelaparan yang parah tetapi Pang Juan memerintahkan mereka untuk terus maju. Tiba-tiba, tampaklah sehelai kain putih tergantung pada sebatang pohon dan Pang Juan mendekat untuk menyelidiki. Begitu membacanya, Pang Juan merasa sangat ketakutan, karena ternyata kain itu bertuliskan, “Pang Juan mati di tempat ini atas perintah Sun Bin “. Dengan segera diperintahkannya pasukan wei untuk mundur, tetapi semuanya telah terlambat. Terjadilah hujan anak panah yang berasal dari kedua sisi lembah, sehingga mengakibatkan Pang juan beserta pasukannya tewas atau terluka parah. Menyadarai bahwa akhir hidupnya sudah dekat Pang Juan bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri.
.
   



BAB 3. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
    Filsafat cina sebagai suatu bagian dari tiga Filsafat yang berpengaruh di dunia selain Filsafat Barat dan Filsafat India, merupakan suatu Filsafat tersendiri dengan berbagai metode, corak, kecenderungan dan berbagai kekhususan yang dimilikinya, bahkan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya .
Akan tetapi terlepas dari semua itu, Filsafat cina merupakan suatu Filsafat yang tidak bisa di pandang sebelah mata, karena pada perkembangan dunia timur seperti Cina dan negara-negara yang terletak tidak jauh darinya, seperti Jepang, Hongkong, Korea dan negara timur lain pada masa kini, mempunyai corak, ciri khas dan juga bahkan mulai berpengaruh terhadap bangsa lain, yang pada perkembangan sejarahnya tidak dapat terlepas dari perkembangan budaya maupun keilmuan dan kefilsafatan pada masa dahulu.
Cina saat ini merupakan suatu kekuatan yang dipertimbangkan di dunia pada umumnya. Dalam berbagai aspek kehidupan mulai pendidikan, teknologi, ekonomi, kekuatan militer sampai pada life style, Cina memiliki ciri dan tren tersendiri yang tidak secara serta merta mengadopsi dari Barat seutuhnya, akan tetapi Cina dengan segala yang dimiliki mempunyai kelebihan yang patut kita ambil sisi positifnya.


DAFTAR PUSTAKA


Tani, Putera. 2008. History Of China. Ar- Ruzz Media: Jogjakarta.
Rachmat, S. 2012.Sejarah dan Tokoh Filsafat China. [seral online].                http://BarisanPinggiran.blogspot.com. [30 September 2013].
Dirgaprimawan, Bernandus. 2007. Asal Mula Filsafat China. [serial online]. http://imajinasi.wordpress.com. [30 September 2013]